"Sekian meeting hari ini."
Setelah mengucapkan empat kata itu, Erigo keluar dari ruang meeting. Sudah tiga jam ia berada di ruangan itu, membuatnya sedikit gerah. Apalagi, kemampuan bahasa Perancis-nya masih level beginners, membuatnya sedikit sulit berkomunikasi dengan para pekerjanya. Untung saja ada Milo yang membantunya. Pria itu mampu menguasai berbagai bahasa, Erigo tidak tahu pasti berapa. Milo mempelajari bahasa Perancis sebulan sebelum mereka berangkat ke Paris. Kini, kemampuan bahasa Perancis Milo lumayan. Yang penting, bisa berkomunikasi dengan masyarakat Paris.
"Mr. Pratama."
Erigo menghentikan langkahnya begitu seorang wanita dengan setelan jas dan rok sepaha yang begitu ketat tengah tersenyum ke arahnya sembari membawa beberapa berkas. Erigo tidak mengenalinya, tetapi ia yakin wanita itu adalah pekerja di sini. Seakan-akan tahu apa yang Erigo pikirkan, Milo berbisik kepadanya. "Deby Cathrine. Ketua operasional."
"Ah, Mrs. Cathrine."
Senyum Cathrine merekah, menandakan ada sesuatu yang memicunya. Jujur saja, Erigo ingin segera ke ruangannya dan tiduran karena meeting tadi benar-benar melelahkan. Tetapi, ia tidak ingin menjadi bos yang egois seperti itu. Lagi-lagi, Milo seakan-akan tahu apa yang membuat Erigo resah dan ingin bertindak, memberitahu wanita itu untuk tidak mengganggu Erigo. Namun, Erigo yang telah mengerti tabiat Milo, memberikan kode ke Milo untuk tidak ikut campur.
Cathrine menyerahkan berkas dengan mendekatkan dirinya dengan Erigo, membuat pria itu segera menjaga jarak. Wanita itu berusaha memangkas jarak dan memaju-majukan bagian privasi-nya ke Erigo, yang membuat Erigo sedikit tidak nyaman. Makhluk purba pun tahu wanita ini menyukai Erigo.
"Laporan bagian operasional untuk bulan lalu, Mr. Pratama." ucapnya, dengan suara yang berusaha menggoda, namun malah membuat Erigo ilfeel banget.
"Baiklah. Terima kasih." balas Erigo sembari mengambil berkas itu. Tanpa basa-basi lagi, Erigo berjalan kembali menuju ruangannya, diikuti Milo di belakangnya. Sesampai di ruangannya, Erigo segera melepas jas dan dasinya, lalu merebahkan diri di kantor. Dirinya masih merinding mengingat kejadian tadi.
"Apakah saya harus menyingkirkan Mrs. Cathrine?" usul Milo.
Mendengar hal itu, membuat Erigo terduduk. "Milo, kita ini perusahaan furniture, bukan organisasi gangster. Bagaimana bisa lo bilang dengan wajah tenang kayak gitu? Seram, tahu, nggak?"
Erigo selalu heran dengan Milo, padahal ia dan Milo sudah bagai kertas dan lem. Milo kerap kali berkata seperti itu ketika ada sesuatu yang mengganggu Erigo, membuat pria itu tidak habis pikir dengan Milo yang mengusulinya dengan mudah. Milo seperti terlalu melindunginya tanpa peduli nasib yang akan dikorbankannya. Bagi Erigo, nasib mereka pun harus diperhitungkan, membuatnya tidak pernah menyetujui usulan Milo yang terkesan sadis.
"Kalau tidak, akan saya beri sedikit pelajaran." ucap Milo lagi.
"Ah, Milo! Kenapa, sih, lo kayak gini?" erang Erigo, frustasi. "Jangan. Pernah. Melakukannya."
Mendengar kata-kata penuh menekanan Erigo, Milo memilih untuk diam. Melihat hal itu, membuat Erigo tenang. Setidaknya, Milo masih mendengarkan perkataannya. Walau masa kecil Milo terkesan kasar, Erigo hanya berharap Milo tidak pernah melakukan tindak kriminal, minimal ketika tengah bersamanya. Erigo hanya mengajarkan Milo agar menyelesaikan suatu masalah dengan kepala dingin, tidak perlu menggunakan kekerasan. Semuanya bisa diselesaikan baik-baik.
Tok.. tok.. tok..
Suara ketukan pintu membuat sepasang mata Erigo terbuka. Seorang represionis wanita, Mrs. Clay, membungkuk ke Erigo. "Ada tamu dan dia mengaku sangat mengenal anda."
Walau berat, Erigo berusaha bangkit dari sofa-nya. "Suruh dia masuk."
Begitu mendapat jawaban, Mrs. Clay permisi keluar. Erigo merapikan kemeja putihnya, lalu duduk di kursinya. Milo berdiri di sebelah meja Erigo, berjaga-jaga saja, mana tahu tamu itu membahayakan atasannya.
Tok.. tok.. tok..
Pintu terbuka, menampilkan sepasang suami-istri dan seorang anak perempuan digendongan sang istri. Erigo yang melihatnya, terperangah tak percaya. Lambat laun, senyumnya mengembang.
"Kapan nyampenya?" seru Erigo sembari menghampiri mereka. Mereka adalah Sam, Nella, dan.. Olip! Ah, putri kecil itu telah tumbuh banyak setelah terakhir kali Erigo melihatnya. Erigo mengambil alih untuk menggendong Olip dari tangan Nella dan mempersilahkan mereka duduk. Milo keluar dari ruagan Erigo untuk membuat minuman.
"Kok nggak bilang-bilang, sih?" ujar Erigo sembari bermain-main dengan Olip. Terlihat jelas sekali dari wajah Erigo bahwa ia sangat merindukan keponakannya itu. Sementara Olip, senyumnya mengembang begitu melihat wajah Erigo. Ia masih mengenali wajahnya.
"Kalau bilang-bilang, nggak surprise, dong," sahut Sam, "Olip, sih nanyain lo, terus. Hampir setiap hari dia bilang, 'uncle Go mana?'. Ya udah, sekalian jalan-jalan aja ke sini."
"Jadi, lo ambil cuti? Sampai kapan?"
"Minggu depan."
"Erigo memanggut-manggut. Olip asyik memanggilnya, Uncle Go, membuat Erigo sedikit terharu. Dia baru menyadari, ternyata sebegitu dekatnya ia dengan Olip. Ketika ia memutuskan untuk menetap sementara di Paris, Sam kewalahan menjaga Olip karena balita itu sibuk menangis karena tidak mendapati Erigo disisinya. Tidak jarang Sam menyuruh Erigo untuk segera pulang. Namun, akhir-akhir ini, Olip tidak menangis lagi, walah masih sering mencari Erigo.
Tidak lama kemudian, Milo membawa nampan berisi tiga cangkir kopi, lalu meletakkan semuanya di meja.
"Milo, lama nggak ketemu, ya?" sapa Nella hangat. Keluarga Sam sangat mengenal baik sosok Milo. Bagi Sam, Milo sangat berperan penting dalam perjalanan hidup Erigo hingga sampai di titik ini. Jika saja Milo tidak memasuki kehidupan Erigo, mungkin saja pria itu masih berlarut-larut dalam penyesalan.
"Iya. Silahkan dinikmati." balas Milo, lalu keluar dari ruangan.
"Jadi, kalian nginap dimana?" tanya Erigo lagi. "Apartemen gue lumayan, kok. Ada kamar dua."
"Mungkin, nanti. Soalnya gue udah mesan hotel," jawab Sam, "Oh iya, Ari padahal mau ikut, tapi nggak jadi. Kayaknya, dia beneran mau nikah, deh."
Kedua pupil Erigo membelalak. "Lah, beneran?"
Sam pun menceritakan segalanya tentang Ari yang ingin nikah. Awalnya, Sam hanya tahu kalau Ari tengah dekat dengan Vina, seorang petugas perpustakaan. Jadi, Sam membuat gurauan di group chat kalau Ari hendak menikah. Umur Ari dan Vina telah mencukupi dan Sam hanya berusaha kompor-mengompori. Namun, beberapa hari ini, Ari bertanya-tanya tentang pernikahan ke Sam. Ari juga seringkali mengode Sam kalau dia tidak jomblo lagi. Sosok Ari memang seperti itu. Ia tidak pernah mengakui, tetapi ia ingin orang-orang mengetahui. Tipe-tipe seseorang yang pemalu. Makanya, Sam hanya memendamkannya sendiri, pura-pura tidak sadar agar Ari tetap memberinya kode-kode seperti itu, yang menurut Sam sangat menyenangkan. Biasanya, ia akan menggosipkannya dengan Erigo. Namun, membicarakannya ditelpon tidak seseru berbincang secara langsung.
Erigo tertawa geli setelah mendengar cerita Sam. Sam memang pandai bercerita, sama seperti dulu. Bumbu-bumbu yang ditaruh Sam membuat ceritanya semakin gurih. Sam adalah teman cerita yang sangat menyenangkan, walau kadang menyebalkan.
Setelah itu, mereka melanjutkan obrolan dengan topik-topik lainnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
EnG's-02: Stairway [COMPLETE]
Teen Fiction[SEQUEL OF ELEVATOR] Erigo dan Gita, dua orang yang dulunya tidak pernah mau akur. Tapi itu 'dulu', sebelum ada jembatan yang menghubungi hati mereka masing-masing. Ya, sebelum ada cinta. Mereka dipertemukan di Paris, setelah delapan tahun...