Erigo mencoba ke rumah Gita lagi hari ini. Mau berjuta-juta kali ia menekan bel, tidak ada tanda-tanda bahwa si penyewa akan membukakannya pintu. Erigo tidak punya pilihan selain menerobos masuk alias menerka-nerka kode apartemen gadis itu.
Pertama, tanggal lahir Gita.
Pintu tidak terbuka. Kode salah.
Erigo tidak mau kepedean, tetapi ia mencoba memasukkan tanggal lahirnya. Namun, sama seperti percobaan pertama, salah. Erigo tidak menyerah dan mencoba berbagai kode, seperti 123456, 111111, 555555, dan lainnya. Berkutat dengan tombol-tombol itu selama lima belas menit membuatnya lelah dengan hasil yang nihil.
Erigo mencoba sekali lagi. Ia menekan angka-angka tersebut. Tiba-tiba saja suara alarmnya berbeda dan pintu pun terbuka, menciptakan celah kecil yang membuat Erigo terdiam sejenak. Jangankan mengira hal-hal seperti ini, bahkan ia tidak yakin gadis itu akan mengingat hari itu. Entah kenapa hal itu membuat Erigo sesak.
Tanggal ketika Erigo mengaitkan cincin ranting ke jari manis gadis itu.
Erigo menarik pintu pelan-pelan dan memasuki apartemen gadis itu. Isinya sama seperti Erigo memasukinya terakhir kali. Rapi, bersih, dan berkelas. Mata Erigo menyusuri apartemen itu, mencari Gita, tetapi sepertinya gadis itu tidak ada di rumah, membuatnya kecewa. Erigo ingin sekali menyelesaikan kesalahpahaman itu hari ini karena ia tidak mau terlali lama berpisah dengan Gita. Membayangkan bahwa masa lalu akan terulang saja membuat lehernya tercekik. Namun, begitu pria itu hendak berbalik, meninggalkan apartemen, suara Gita membuat langkahnya tertahan. Ia menoleh ke satu pintu dan berjalan perlahan ke arahnya. Ketika ia berada tepat di depan pintu yang terbuka sedikit itu, suara Gita terdengar jelas di telinganya. Gadis itu tengah menelepon seseorang.
"Aku nggak bisa kembali, ya?" ucap gadis itu dengan suara serak, membuat Erigo menghela napasnya, frustasi. Gadis itu pasti menangis terlalu sering. Erigo marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia melakukannya hingga membuat gadis itu lagi-lagi tersakiti?
"Surat pengunduran dirimu sudah diproses oleh pusat, Gita. Hanya butuh dua minggu untuk meresmikannya." ucap seorang pria yang menjadi teman bicara gadis itu. Suaranya bisa terdengar karena gadis itu mengaktifkan mode speakernya.
Erigo terkejut mendengarnya. Pengunduran diri?
"Oh, begitu."
"Nggak berjalan lancar, ya?"
Gadis itu terdiam beberapa saat. "Aku yang terlalu cepat menyimpulkan."
"Lalu kenapa kamu mengundurkan diri dan berpura-pura hanya berlibur di sana?"
"Sudah, ya Detektif."
Tidak ada lagi suara di dalam sana, membuat Erigo hendak menerobos masuk. Namun, ia hanya diam karena terganggu dengan apa yang didengarnya tadi hingga pintu sepenuhnya terbuka, menampilkan gadis itu dengan wajah yang pias dengan rambut yang diikat sembarangan. Gadis itu terlihat sangat terkejut melihat kehadiran Erigo, namun berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia melewati Erigo seperti tidak ada orang di sana.
"Git."
Gita tidak menggubrisnya dan berjalan menuju dapur, lalu mengambil segelas air. Erigo menyusul gadis itu ketika ia tengah meneguk habis air tersebut. Pria itu memanggil gadis itu sekali lagi, tetapi lagi-lagi, hanya ada Gita di sini.
"Maaf, Git," ucap Erigo pelan, "Hari itu gue benar-benar kewalahan karena nggak ada sekretaris. Gue nyuruh Milo buat ngurus sesuatu dan gue nggak nyangka gue bakal serepot itu, makanya—,"
"Nggak ada yang perlu dijelasin." bisik Gita dingin dan beranjak dari dapur. Erigo bergegas menahan lengan gadis itu agar ia bisa menjelaskan semuanya, tetapi Gita memberikan perlawanan.
"Seharusnya, lo bisa minta tolong gue, Go!" seru Gita memanas. "Gue tau, gue nggak bisa masak enak, tapi gue bisa bantu kerjaan lo. Gue bisa makein lo dasi, nyiapin pakaian meeting lo, dan ngurusin berkas-berkas memuakkan itu, jadi lo nggak perlu nyewa cewek nggak jelas!"
"Gita!"
"Iya, gue cemburu. Puas?!"
Erigo mengacak-acak rambutnya. Ia bukan kesal karena ucapan Gita. Gadis itu benar. Salahnya karena menciptakan momen ambigu seperti itu. Tetapi, ia kesal kepada dirinya karena melihat mata gadis itu berkaca-kaca, seperti ada yang memaksa untuk turun.
"Seenggaknya juga, lo jujur sama gue, Erigo Pratama. Walaupun lo nggak memercayai gue buat gantiin Milo, seenggaknya lo ngabarin gue!" ucap Gita lagi. "Lo nggak tau kemana subuh-subuh, terus besoknya nggak mau dicampurin urusannya. Besok dan besoknya lagi, lo nggak ada kabar. Cewek mana yang nggak khawatir, Go? Lalu, dengan pemandangan seperti itu, menurut lo aja gimana?!"
Gita terduduk di lantai sembari menutup wajahnya dengan kedua telapaknya. "Gue tau, Go kalau lo juga ngerasain hal yang sama dengan Kev. Gue tau kalau gue nggak punya hak untuk marah."
Erigo duduk di depan Gita, lalu menundukkan kepalanya. Gita benar-benar menderita saat ini.
"Gue......"
"Semuanya salah gue, Git. Maafin gue." isak Erigo penuh sesal.
"Gue nggak tau, Go, solusinya," lirih Gita. "Mau dihadapain ribuan kalipun, gue nggak akan tau karena gue nggak akan terbiasa."
"Maaf, Git."
Gita berdiri, menyeka air matanya yang meninggalkan jejak di pipinya. "Pergi saja."
Gadis itu masuk ke kamarnya, meninggalkan Erigo yang terduduk di lantai sendiri dengan penyesalannya melalui isakan tangis. Begitu menutup pintu, kaki Gita melemas hingga tidak kuat menopang tubuhnya. Ia menyenderkan punggungnya di pintu dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan nangis, Go. Kumohon, pergi saja."
Seberapapun menyesakkannya hal ini, mendengar tangis pria itu membuat jantungnya seperti dihujam pisau berkali-kali.
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
EnG's-02: Stairway [COMPLETE]
Teen Fiction[SEQUEL OF ELEVATOR] Erigo dan Gita, dua orang yang dulunya tidak pernah mau akur. Tapi itu 'dulu', sebelum ada jembatan yang menghubungi hati mereka masing-masing. Ya, sebelum ada cinta. Mereka dipertemukan di Paris, setelah delapan tahun...