12-Penyesalan Yang Tak Lekas Usai

237 18 0
                                    

Dua minggu kemudian.....

                Seorang pria tengah berlari sekuat tenaga, menyusuri koridor demi koridor untuk ke ruangan paling sakral di gedung ini, ruang CEO. Ia segera mendorong pintu begitu tiba dan mendapati sosok pria yang tengah melamun di kursi kerjanya. Milo datang entah darimana, lantas melaporkan sesuatu.

                "Semuanya sudah siap."

                "Erigo," ujarnya sembari menghampiri pria yang kini masih di posisi yang sama. "Lo beneran pulang ke Jakarta?"

                Tanpa menoleh, Erigo hanya berdehem, membenarkan.

                Sam, pria itu duduk di atas meja, lantas melirik sahabatnya itu dengan lirih. Sekitar sejam yang lalu, Erigo mengirimkannya pesan yang super panjang, berisikan tentang hubungannya dan gadis itu yang kandas dan keberangkatannya ke Jakarta hari ini. Info yang super duper mendadak itu, membuat kantuk berat yang Sam alami, terangkat begitu saja. Tanpa mencuci muka, ia langsung bergegas kemari. Untuk menanyakan kebenarannya, benar. Tetapi, alasan utamanya hanyalah ingin memastikan kondisi Erigo yang pasti tidak baik-baik saja.

                Sam menepuk bahu Erigo perlahan, menenangkannya sebisa mungkin. Sam tahu betul bagaimana perasaan Erigo terhadap gadis itu. Bagi Erigo, kata 'segalanya' adalah definisi untuk Gita. Dan kini, 'segalanya' telah hilang di hidup Erigo. Hal itu membuat Sam mengkhawatirkan Erigo.

                Butuh bertahun-tahun lamanya untuk mengembalikan Erigo yang lama.

                "Semuanya akan baik-baik aja." bisik Sam.

                Erigo tetap mematung, menatap gedung-gedung pencakar langit yang berdiri megah di luar sana. Milo yang melihatnya, memilih keluar, membiarkan dua sahabat itu berbincang. Bos-nya itu membutuhkan teman bicara, walau ia enggan untuk memulai.

                "Mulailah lembaran yang baru. Di Jakarta." ujar Sam lagi.

                Erigo mengepalkan tangan kanannya, berusaha menahan sesuatu. Tatapannya yang kosong, menatap Sam. Pria itu menggigit bibir bawahnya, tidak peduli terluka atau tidak. Hatinya sudah cukup perih.

                "Bagaimana bisa?" ucap Erigo serak.

                Sam terdiam begitu melihat bibir Erigo bergetar. Pria yang dulu sering berbuat sesukanya itu, kini terlihat serapuh dandelion. Bahkan, ketika hidupnya hancur usai Ayahnya dipenjara, Erigo tidak terlihat sekacau ini.

                "Katakan, bagaimana caranya?!" seru Erigo gusar. "Bagaimana bisa jika aku masih mencintainya? Bahkan, ketika dia pergi dengan pria lain, meninggalkanku, tepat di depan mataku, rasa cinta ini tidak pudar sedikitpun. Bagaimana bisa....."

                Sam membeku begitu melihat Erigo menutupi seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Pria itu menangis tanpa bersuara. Air matanya berjatuhan, tetapi pria itu masih berusaha untuk tidak menangis. Ia tidak ingin terlihat sebagai seseorang yang patut dikasihani. Erigo berusaha tegar. Beratus-ratus kali dia bilang, kalau dirinya baik-baik saja. Dia baik-baik saja setelah hari itu. Tetapi, tetap saja, ia sering melamun, lalu mengingat momen-momen yang tersimpan, lantas menahan sedih. Sendirian.

                Hal itulah yang membuat semuanya menjadi lebih menyesakkan.

*****

                Sudah lima belas menit lamanya ia duduk di sofa ini, menunggu Detektif Roo yang tak kunjung datang. Pria itu tengah berada di TKP, menyelidiki sebuah kasus baru. Ia memain-mainkan jari-jarinya dan berkali-kali menghela napas. Ia hanya ingin cepat-cepat menemui Detektif Roo dan meminta saran.

                Beberapa jam yang lalu, Sam mengunjungi rumahnya. Ekspresinya tidak menggambarkan bahwa situasi tidak baik-baik saja. Sam pun enggan ketika ditawarkan masuk. Ia hanya ingin bicara di depan pintu.

                "Erigo akan pulang ke Jakarta. Hari ini." ujarnya.

                Ia hanya bisa terdiam, tidak tahu kata-kata apa yang harus ia keluarkan.

                "Lo dengar, Git? Erigo pulang." ulang Sam lagi.

                Gita memanggut. "Hubungan kami sudah selesai."

                Sam menatap Gita dengan ekspresi tidak percaya.

                "Setelah semua yang dia lakukan, komentar lo hanya itu?"

                "Maaf, Sam. Gue nggak tahu harus ngomong apa." sesal Gita, yang terjebak dalam situasi serba salah.

                Sam tertawa mendengar omong kosong Gita. "Bahkan, lo nggak mau tau kondisi dia setelah dikhianati oleh seseorang yang sangat ia percayai di dunia yang tolol ini."

                "Lebih parah. Tatapannya kosong. Bibirnya dipenuhi sariawan karena ia terus-terusan menggigitnya. Dia terlihat ketakutan, tetapi dia berusaha untuk terlihat baik-baik aja. Dia—,"

                Sam mengurut keningnya. Rasa sakit menjalar di kepalanya karena ia terlalu kalut membayangkan kondisi Erigo. Sementara Gita, ia membeku. Tenggorokannya tercekat dan sepasang matanya tidak berkedip.

                "Gue bahkan nggak masalah kalau lo mau putusin dia, tapi—," seru Sam dengan amarah yang membuncah, "Nggak gini caranya, Git! Nggak dengan cara yang paling sadis."

                "Perpisahan aja udah menyakitkan dan lo menambahkan penderitaan yang tidak akan cepat pudarnya."

                Gita mengusap wajahnya begitu mengingat kejadian itu. Sam datang, tidak sampai lima menit untuk mengatakan hal itu. Namun, perkataan Sam sangat menusuk ulu hatinya, menyadarinya berpuluh-puluh kesalahan yang tidak seharusnya ia perbuat. Seharusnya, ia tidak pergi bersama Kev kala itu. Harusnya ia meminta Kev untuk menunggu di tempat lain dan menjelaskannya perlahan kepada Erigo. Atau mungkin, seharusnya sejak awal Gita menceritakan semua tentang Kev dengan sejujur-jujurnya. Seharusnya, Gita memercayai Erigo sejak awal.

                Kini, ada banyak penyesalan yang tidak ada jalan keluarnya di benak Gita.

                "Ada apa?"

                Tanpa ia sadari, Detektif Roo tengah berdiri dihadapannya. Gita menatap Detektif Roo, lantas membuat pria itu mengerti dan duduk, lalu mendengarkan keseluruhan cerita dari Gita. Detektif Roo menyadari ada hal yang salah ketika anak buahnya menelepon, mengabari kalau Gita menunggunya di ruangannya. Hanya ada dua alasan ketika Gita berada di ruangan Detektif Roo. Pertama, karena ia memanggilnya. Kedua, karena pikiran Gita kalut dan ia butuh solusi. Alasan nomor dua jarang terjadi karena Gita cukup hebat dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun, tidak ada alasan bagi Detektif Roo untuk memanggil Gita.

                "Aku harus bagaimana?" keluh Gita, parau.

                Detektif Roo menatap anak angkatnya itu dengan tatapan kasihan. Sejujurnya, ia sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi dan Detektif Roo pun telah memikirkan jalan keluarnya.

                "Jalani saja." ujar Detektif Roo. "Kamu memilih menggenggam tangan Kev hari itu, Git. Kamu harus bertanggung jawab dengan pilihanmu karena melarikan diri akan membuat semuanya menjadi rumit."

                Begitu Detektif Roo selesai memberikan nasihat, Gita berpamitan dan keluar dari ruangan Detektif Roo. Ia memilih turun melalui tangga darurat. Namun, di tangga yang ke-15, sepasang kakinya menjadi lemas, hingga membuatnya duduk. Gita melipat tangannya, lantas menunduk dan mengeluarkan air mata yang sudah lama ia tahan. Rasa sesak itu bertambah berkali-kali lipat ketika Detektif Roo memberikannya saran.

                Kamu memilih Kev dan kamu harus bersamanya.

                Entah kenapa, mendengarnya membuat Gita merasa seperti seorang pecundang.
                                                                                             

*****

EnG's-02: Stairway [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang