28-Benar-benar terakhir

120 12 0
                                    

Gita bersandar ke sofa setelah mengemas barang-barangnya yang tidak banyak, tetapi tidak sedikit juga. Ia sedikit bersyukur karena membawa sedikit barang ke Jakarta, jadi ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu hanya untuk berkemas. Tiba-tiba, Leo keluar dari kamarnya hanya dengan sebuah ransel. Adiknya itu memang membawa sedikit barang, tiga pasang pakaian, mungkin—memang kebiasaan. Dulu, ketika pindah ke Paris, Leo hanya membawa lima pasang pakaian luar dan dalam dan sebuah sepatu. Sisa pakaiannya disumbangkan ke panti asuhan. Katanya, ia tidak ingin merepotkan diri untuk membawa banyak baju karena di Paris pasti ada yang jual pakaian. Sebenarnya, Leo tidak memiliki barang kesayangan yang harus dijaga. Oleh karena itu, Leo sangat mudah melepaskan barangnya.

Hari ini, mereka akan berangkat ke Paris. Mereka harus mengurus kepindahan di Paris dan mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke dunia baru mereka. Leo telah menelepon Detektif Roo dan menjelaskan situasinya, yang juga ditutur lebih jelas oleh Gita. Beliau tidak banyak berkomentar, hanya bilang ia mengerti dan akan membantu mengurus kepindahan Leo dan Gita. Detektif Roo juga bilang, ia akan menyusul Leo dan Gita tiga bulan kemudian karena ia harus menyelesaikan sebuah kasus. Awalnya, Gita melarang keras karena ia tahu Detektif Roo sangat direpotkan olehnya dan Leo. Namun, Detektif Roo bersikeras bahwa ia akan selalu menjadi wali Leo dan Gita, dimanapun dan kapanpun. Lama beradu argument, akhirnya Gita mengalah. Detektif Roo terdengar senang di seberang sana.

"Tiga bulan ke depan, aku akan menyelesaikan kasus ini dan segera menyusul kalian."

"Terserah."

Sambungan telepon diputus oleh Gita.

Leo yang melihatnya, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Gita dan Detektif Roo memang sering bedebat, walaupun masalahnya sepele. Sementara Leo, ia menjadi sosok yang menyaksikan perdebatan itu tanpa sepatahkatapun. Jika perdebatan itu usai, Leo akan angkat bicara dan sama sekali tidak mengungkit sedikitpun tentang perdebatan itu alias mengalihkan topik. Hal itu adalah keahlian Leo.

Gita menatap koper-koper yang telah terbungkus rapi dengan plastik pelindung, sedikit lama, membuat Leo menegurnya.

"Jangan bengong terus, ah. Mandi sana." ucap Leo yang masih sibuk membersihkan apartemen.

"Paspor sama—,"

"Udah di tas gue. Buruan."

Gita mengangguk dan beranjak dari sofa, menuju kamar mandi. Pesawat mereka akan berangkat pukul empat sore. Itu artinya, mereka harus berangkat dari apartemen pukul satu siang karena keberangkatan luar negeri sedikit ribet.

Kini, waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Setelah membersihkan diri, Gita berpakaian kasual, hanya kaos putih dan celana jeans. Ia menatap cermin, kemudian mengikat rambutnya ekor kuda dan sedikit menoreh liptint di bibirnya karena wajahnya terlihat sangat pucat. Ia tersenyum begitu usai.

"Kak, HP lo bunyi." seru Leo dari luar.

Gita bergegas keluar kamar dan mengambil handphonenya yang tergeletak di meja dekat sofa. Begitu melihat nama yang menelepon, sesaat Gita membeku. Nama yang diakhiri tanda cinta itu terpampang jelas di layer. Gita lupa, ia tidak sempat menghapus nomor itu.

"Siapa?" Leo datang dari dapur, membuat Gita segera menyembunyikan ponselnya.

"Oh.... Sam!"

"Kenapa nggak diangkat? Tuh, mati." ujar Leo, membuat Gita menyadari ponselnya berhenti berdering.

"Ini, mau nelepon lagi." ucap Gita, lalu cepat-cepat masuk ke kamar. Ponselnya berdering kembali, menampilkan nama yang sama. Nama yang sangat ingin Gita lupakan. Nama yang sekarang dilarang keluar dari mulut Gita.

Gita hanya menatap nanar layar ponselnya. Berdering, berhenti, berdering, lalu berhenti lagi. Gita membiarkannya dengan berbagai hal yang berkecamuk di kepalanya. Angkat, tidak, angkat, atau tidak.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk, dari orang yang sama.

Aku ingin bertemu, walau untuk terakhir kalinya.

Kalimat itu, entah kenapa bisa didengar oleh Gita. Kalimat yang sangat pasrah, bergantung pada yang membalasnya. Kata per kata yang dipenuhi harapan untuk jawaban yang diinginkan. Gita bimbang, benar-benar.

Oke.

Gita bertekad kepada dirinya sendiri bahwa kali ini benar-benar yang terakhir kalinya.

*****

EnG's-02: Stairway [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang