Sepasang matanya perlahan terbuka. Ia merasa dirinya mulai baikan. Hanya sedikit rasa sakit di kepalanya dan ia merasa baik-baik saja. Erigo menghembuskan napas dengan pasrah. Dia tidak ada. Dia tidak di sini.
Kemungkinan besar, semua itu adalah mimpi atau khayalan Erigo karena suhu tubuhnya yang tinggi.
Dengan sedikit rasa kecewa, Erigo bangkit dari kasurnya. Ia berjalan menuju ke dapur dan meneguk segelas air mineral seraya melihat jam yang tertempel di dinding. Pukul delapan pagi. Ah, tidak apa-apa karena hari ini ia tidak bekerja.
Erigo meletakkan punggung tangannya di dahinya dan dirinya teringat akan kejadian itu, dimana gadis itu menyentuhnya dengan raut wajah khawatir. Dimana gadis itu mendampinginya ketika ia sakit dan bersikeras tidak meninggalkannya meski ia meminta hingga Erigo merasa nyaman dan tertidur pulas.
Andaikan semua itu adalah nyata.
Cepat-cepat Erigo menyingkirkan semua itu dan meletakkan gelasnya di tempat cuci piring. Memikirkan semua itu hanya membuat Erigo menjadi halu dan berakhir gila karena terlalu berharap pada sesuatu yang tidak ia miliki lagi.
Namun, mata Erigo membeku ketika melihat bak cuci piring miliknya yang kosong, tidak ada satupun peralatan makan yang kotor. Erigo menoleh ke rak cuci piring dan mendapati peralatan makanannya yang tersusun dengan rapi. Pria itu merasa ada yang aneh. Siapa yang membersihkan semua ini? Erigo tidak membersihkan rumah beberapa hari terakhir. Ia hanya membiarkan semuanya yang kotor menumpuk. Entah itu pakaian atau peralatan makan.
Mungkin, Milo?
Erigo ingin dirinya mengira bahwa Milo-lah yang melakukan semua ini, sebelum matanya terpaku dengan sapu tangan berwarna pink tengah dijemur di kursi, setengah basah. Erigo memegang sapu tangan tersebut. Ia tidak pernah memiliki sapu tangan. Erigo merasa benda itu hanya sia-sia saja. Namun, mengapa Erigo merasa familiar?
Beberapa saat ia menyentuhnya, sapu tangan tersebut terlepas dari tangan Erigo. Pria itu terperangah, tidak percaya dengan apa yang ada dipikirannya. Tunggu. Apakah semua ini mungkin? Apakah kejadian tadi malam benar-benar terjadi?
Apakah semuanya nyata?
Kemudian, sepasang mata Erigo menangkap sebuah amplop putih di atas meja makannya. Dengan sigap, Erigo meraih amplop tersebut dan menemukan tiga lembar kertas. Tidak sabar, pria itu segera membacanya.
Dear Erigo.....
Aku ingin mengajarimu sebuah ketegaran dan keikhlasan ketika kita bersama. Bila nantinya kita berpisah lagi, kamu tetap bisa berdiri tanpaku dan berjuang untuk hati yang lain. Agar kamu masih bisa mencintai lagi. Agar kamu bisa mencari kebahagiaan lainnya. Dengan keras kepala, aku berusaha untuk tidak larut dengan kasih sayangmu. Tidak terlalu menyayangimu. Tidak terlalu jatuh kepadamu.
Kukira, dengan marah, kamu tidak terlalu menyayangiku. Dengan mengacuhkanmu bila kita tengah bersama, membuatmu merasa baik-baik saja bila nantinya kita berpisah. Dengan memilih kesibukan, membuatmu terbiasa menjalani hari-hari tanpaku.
Nyatanya, yang salah itu bukan kamu.
Tetapi aku, yang sudah terlalu jatuh hati padamu, bahkan sebelum semuanya dimulai.
Sudah seharusnya aku tidak mementingkan ego-ku. Tetapi, aku hanya takut perpisahan. Aku takut kamu terpuruk kembali, seperti saat itu. Aku ingin menciptakan perpisahan yang indah. Aku takut menciptakan kenangan indah yang nantinya akan sulit dilupakan. Kenangan indah itu hanya akan membunuhmu perlahan.
Aku tahu, semua itu hanyalah alasan.
Aku tidak akan meminta kita untuk kembali bersama. Setidaknya, aku ingin menceritakan semuanya, kepadamu, untuk terakhir kalinya. Benar-benar terakhir.
Aku akan menghilang dari kehidupanmu. Jadi, jangan lupa hidup dengan baik dan bahagia. Pria hangat sepertimu, akan disukai banyak wanita di luar sana.
Sekali lagi, maafkan aku.
Tolong. Aku benar-benar ingin dimaafkan olehmu.
Gita.
Erigo membaca lembaran kedua dan ketiga, yang berisikan tentang cerita Gita mengenai Kev. Pria itu terduduk lemas begitu selesai membaca surat tersebut. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, ia merasa bahwa posisi Gita sangat sulit, sehingga wajar saja gadis itu melakukannya. Namun di sisi lain, Erigo merasa, Gita tidak seharusnya mempermainkan perasaannya. Seharusnya gadis itu tidak memikirkan perpisahan ketika mereka masih bersama. Bukankah hal itu sama saja dengan berencana membawa hubungan mereka kepada perpisahan?
Seharusnya, seperti itu.
Drrt... drrt...
Erigo mengambil ponselnya dari saku dan terdapat sebuah pesan dari Sam.
Hari ini Gita pulang ke Paris. Pesawat jam 10 pagi.
Erigo melihat waktu lagi. Pukul setengah sembilan. Butuh waktu satu jam untuk sampai di bandara bila ia berangkat sekarang juga. Namun, Erigo masih menimbang. Apakah ia harus menyusul Gita dan memaafkan gadis itu kembali? Bukankah ia harus memegang teguh pendiriannya untuk melupakan gadis itu? Seperti pria sejati.
Entahlah. Erigo tidak tahu.
*****
Pukul 09.45 WIB.
15 menit lagi pesawatnya akan berangkat. Namun, Gita masih menunggu di depan bandara. Padahal, waktu check-in tinggal lima menit lagi. Seharusnya, Gita segera masuk ke dalam, check-in, dan menunggu pesawatnya di ruang tunggu. Bukankah ini keputusan akhir dari Gita? Untuk mengikhlaskan semuanya? Seperti yang telah ia rencanakan sebelumnya?
Namun, kenapa Gita berharap Erigo ada di sini?
Jangan bodoh, Gita. Setelah semua yang terjadi, Erigo tidak akan melihatmu lagi. Pria itu akan melupakanmu. Ingat. Kamu telah mengecewakannya berulang kali dan kamu pantas mendapatkannya. Wanita sepertimu tidak akan bisa memiliki pria baik seperti Erigo lagi. Semua itu adalah karma.
Benar, semua ini adalah karma yang harus ia terima.
Gita berdiri dari bangkunya dan menarik kopernya dengan perlahan. Ia tidak boleh membatalkan penerbangannya. Ia harus melepaskan semuanya di sini. Harapan dan kenangan tentang dia. Gita harus melupakannya begitu tiba di Paris dan kembali ke kehidupannya yang dulu. Benar. Hanya itu yang bisa dilakukan Gita.
Walaupun sesak, Gita harus melakukannya. Gita harus tersenyum, tidak peduli seberapa hancur hatinya.
"Gita!"
Gita menghentikan langkahnya dan berbalik, lalu mendapati seorang pria yang ngos-ngosan dihadapannya. Gita membeku begitu pria itu berjalan menuju ke arahnya, lalu mendekapnya dengan erat.
"Siapa bilang kamu boleh pergi?!"
"Erigo..."
"Benar, aku yang menyuruhmu," bisik Erigo, "Tetapi, tolong, jangan pergi lagi. Kumohon."
Gita membenamkan wajahnya di dada Erigo dan perlahan terisak. "Maaf..."
Erigo mencium pucuk kepala Gita dan mengangguk pelan. "Jadi, jangan pergi. Jangan menciptakan perpisahan, mau seindah apapun. Karena semua perpisahan itu sangat menyakitkan."
Gita melingkari lengannya di pinggang Erigo, enggan melepas raga yang sangat ia cintai itu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
EnG's-02: Stairway [COMPLETE]
Teen Fiction[SEQUEL OF ELEVATOR] Erigo dan Gita, dua orang yang dulunya tidak pernah mau akur. Tapi itu 'dulu', sebelum ada jembatan yang menghubungi hati mereka masing-masing. Ya, sebelum ada cinta. Mereka dipertemukan di Paris, setelah delapan tahun...