22-Serupa Tapi Tak Sama

163 10 0
                                    

Gita mengurung diri di apartemennya. Ntah berapa ratus tisu yang bertebaran di lantai apartemennya. Dirinya terkulai tidak berdaya di kasur. Wajah pias, mata bengkak, dan hidung memerah, menandakan seberapa kacau dirinya. Handphonenya tidak pernah ia sentuh sejak hari itu. Ia pun tidak menggubris seseorang yang menekan belnya berulang kali. Gita terlalu larut dengan dirinya sendiri.

                Kejadian hari itu membuat Gita hancur. Melihat kekasihnya bersama dengan wanita lain dan terlihat sangat dekat dan romantis, membuat hatinya hancur berkeping-keping. Erigo selalu seperti itu ketika bersamanya. Menatapnya penuh kasih, seperti seorang bayi terhadap Ibunya. Pria itu tidak jarang tersenyum manis sembari memerhatikannya, membuat Gita seringkali marah karena ia malu. Ia kerap kali heran dan mempertanyakan alasan pria itu selalu seperti itu kepadanya. Apakah dia terlalu berbeda? Atau bagaimana?

                Namun, Erigo mematahkan hatinya.

                Semakin memikirkan hari itu, membuat kepala Gita sakit. Entah kenapa, hari itu, ia tidak bisa mengatakan apapun kepada Erigo. Seharusnya ia marah dan memukul Erigo hingga tulang-tulangnya patah. Ia juga bisa memaki-maki Erigo karena pria itu selingkuh darinya. Pria itu tahu kalau harga diri Gita begitu tinggi. Lantas, kenapa pria itu mencoba menghancurkannya?

                Akan tetapi, Gita tidak mengatakan apapun. Ia kecewa teramat dalam.

                Berulang kali ia memikirkan sesuatu yang positif, misalnya hubungan Erigo dengan wanita itu seperti dirinya dan Kev dulu. Gita menekankan kepada dirinya, ratusan kali, kalau ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak kepada Erigo. Erigo adalah kekasihnya dan mereka berjanji akan saling memercayai. Gita berusaha memahami Erigo, lagi dan lagi. Gita tidak ingin hubungan ini hancur seperti yang sebelum-sebelumnya. Gadis itu harus bersikap dewasa. Oleh karena itu, Gita tidak ingin menemui Erigo dulu karena ia tahu benar siapa yang memencet bel dan membunyikan ponselnya berkali-kali. Gita tahu, Erigo berusaha menjelaskan untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Namun, Gita tidak ingin emosinya mengendalikan dirinya lagi dan merusak segalanya.

                Gita tidak ingin hubungan ini rusak, tetapi ia ingin menghilang.

                Ia ingin menghilang agar siapapun tidak bisa menemukannya. Terlebih lagi, Gita tidak ingin bertemu orang-orang yang mengenalinya. Gita ingin berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tahu, hidupnya terlalu rumit sejak dulu. Ia tahu, ia sangat lelah dengan semuanya. Pekerjaannya, percintaan, percintaan, dan kegiatan sehari-harinya. Akhir-akhir ini, ia tidak menemukan hasil apapun dalam semuanya. Padahal ia kira, kehidupan asmaranya dapat memperbaiki segalanya. Gita kira, dengan Erigo berada di sisinya, ia bisa kembali menemukan makna dari hidupnya.

                Akan tetapi, Gita takut bahwa kali ini ia benar-benar akan kehilangan Erigo.

                Gita menatap nanar ponselnya yang bergetar, lagi dan lagi. Lalu ia meraih ponsel itu dan layarnya menampilkan nama yang membuat Gita tidak henti-hentinya merasa geli. Pacarku satu-satunya. Pria itu yang menamainya sendiri. Padahal Gita selalu mengubahnya lagi dengan nama pria itu saja, namun pria itu tetap menggantinya dengan nama itu. Karena sudah muak, akhirnya Gita membiarkannya saja.

                Begitu panggilan mati, Gita beralih membuka kunci ponselnya dan mencari nomor seseorang. Seseorang yang sangat dibutuhkannya saat ini.

                "Tumben banget ingat nelpon."

                Gita tersenyum tipis begitu mendengar suara itu dan berusaha menahan suara seraknya. "Lo lagi dimana?"

                "Kerja, lah. Karyawan mana yang nganggur hari senin begini," ujarnya. "Btw, gimana acaranya? Lancar?"

                Gita mengangguk, walau ia tahu pria itu tidak akan mengetahuinya. "Le."

                Pria itu, Leo, terdiam begitu mendengar kakaknya memanggilnya seperti itu. Leo sangat hapal dengan kakaknya.

                "Ada masalah, ya?"

                Gita mengangguk lagi.

                "Ayo, pulang ke Paris. Gue selalu ada."

                Gita mengelap cepat air mata yang mengalir di pipinya. "Paris selalu menjadi tempat pelarian yang terbaik, ya?"

                "Lari kemanapun selalu yang terbaik, asal ada kita."

                Perlahan Gita terisak. Adiknya, yang teramat disayanginya, adalah satu-satunya alasan yang ia butuhkan untuk melanjutkan hidup. Pria itu sangat tahu apa yang Gita perlukan saat ini.

                Lari. Gita sangat pandai dalam hal melarikan diri.

*****

CEO Erigo Pratama

CEO Erigo Pratama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
EnG's-02: Stairway [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang