Setelah berada di langit selama kurang lebih 16 jam, akhirnya Gita menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Banyak penumpang hilir-mudik di sekitar bandara, membuat Gita sedikit jengah. Ditambah dengan cuaca yang super duper panas, membuat Gita ingin cepat-cepat mengademkan diri di taksi. Gita bisa bernapas lega ketika ia telah berada di taksi. Dengan secarik kertas alamat yang ia dapatkan dari Leo, ia pergi ke sana. Ke tempat itu. Apartemen Erigo.
Erigo pernah memberikan alamatnya di Jakarta ke Leo ketika pria itu mengunjungi rumah mereka untuk kedua kalinya. Awalnya, Leo bertanya-tanya tentang tempat tinggal Erigo, hanya sekedar berbincang-bincang dan Erigo menuliskan alamatnya di kertas. Kata pria itu, Leo bisa menginap di rumahnya ketika mengunjungi Indonesia suatu hari nanti.
Gita menyesal karena ia tidak pernah bertanya tentang alamat Erigo di Jakarta.
Sepanjang perjalanan, Gita kebanyakan melamun. Ia hanya merespons ketika supir taksi mengajaknya berbicara. Melihat penumpangnya yang terlihat tidak ingin diajak berbincang, supir taksi memilih diam, membiarkan Gita memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Sementara Gita, ia sedikit tidak sabar untuk melihat Erigo. Ia tahu, ia tidak akan menyesali keputusannya untuk mengambil cuti tahunannya dan pergi ke Jakarta, menemui Erigo. Gita berharap, Erigo baik-baik saja setelah semua ini.
Setelah melewati jalanan Jakarta yang padat, Gita sampai di sebuah gedung apartemen yang terlihat mewah. Gita memasuki gedung tersebut, lantas menaiki lift. Begitu ia memencet tombol 6, pintu lift mulai tertutup dan mulai naik ke lantai 6. Gita menggigit bibir bawahnya dan berharap lift ini segera terbuka.
Lift terbuka dan Gita segera mencari apartemen nomor 20. Tidak lama kemudian, ia menemukannya. Pintu bernomor 20 terletak di ujung lorong. Gita ingin memencet tombol bel, tetapi gerakannya tertahan. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia merasa gugup. Tidak, tidak. Gita tidak boleh mundur. Hilangkan saja rasa itu hari ini!
Gita memencet tombol, sekali, dua kali, hingga beberapa kali. Tidak ada yang membukakan pintu. Gita menekannya lagi dan lagi, tetapi nihil. Gita menghela napasnya, sedikit kecewa. Mungkin, pria itu berada di kantor. Gadis itu berusaha menghibur diri. Ia bisa kembali malam nanti.
Gita berbalik, hendak meninggalkan lantai ini. Belum sempat ia melangkah, suara pintu terbuka terdengar. Ia segera menoleh dan mendapati wajah seseorang yang tengah ia tunggu. Wajah itu pucat pasi dengan rambut yang berantakkan. Pria itu terdiam begitu melihat sosok Gita.
Gita sangat terkejut melihat penampilan Erigo. Gadis itu menghampiri Erigo dengan khawatir. Dengan sigap, ia meletakkan punggung tangannya di kening Erigo.
"Kamu sakit? Udah ke rumah sakit?" tanya Gita khawatir.
Rasa panas mulai membakar tangan Gita.
"Kamu demam!" seru Gita. "Udah makan obat? Kompres? Milo tau, kan?"
"Pergilah."
Gita tertegun mendengar suara serak dan tatapan dingin dari Erigo. Perlahan tangannya menjauhi Erigo. "Go..."
"Aku tidak ingin melihatmu."
"Go!"
Erigo menutup pintunya tanpa membiarkan Gita masuk. Gita mondar-mandir di depan pintu, memikirkan kondisi Erigo. Suhu tubuh Erigo sangat panas. Kondisinya juga sangat mengkhawatirkan. Bagaimanapun juga, Erigo harus segera diobati. Entah kenapa, Gita merasa, Erigo memendam rasa sakitnya sendiri. Ia yakin seratus persen, Erigo tidak memberitahu siapapun bahwa ia sakit. Tabiat Erigo sejak dulu.
Hingga seseorang datang dan membuat rasa khawatir Gita sedikit terobati.
****
Erigo telah terbaring di tempat tidur selama dua hari. Beberapa hari yang lalu, ia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia merasa sakit kepala yang luar biasa dan tubuhnya lemas. Ia sudah mengonsumsi obat demam, tetapi tidak ada perubahan yang terjadi.
Bel apartemennya tiba-tiba berbunyi terus-terusan. Erigo mengira, mungkin Milo yang datang karena mengkhawatirkannya. Pria itu tidak mengatakan apapun mengenai kondisinya. Ia hanya mengirim pesan ke Milo kalau ia tidak bisa hadir di kantor karena ada urusan pribadi dan tidak ada yang boleh mengganggunya. Milo mengirim balasan dengan kata-kata yang menuruti permintaan Erigo.
Bel rumahnya berbunyi tanpa henti, membuatnya jengah dan memilih untuk berjalan membukanya. Namun, ia teringat satu hal. Jika yang memencet bel adalah Milo, rasanya tidak mungkin. Pria itu tahu kode sandi apartemen Erigo. Tetapi, cepat-cepat Erigo singkirkan kecurigaan itu. Mungkin saja itu adalah Sam atau Ari. Atau mungkin saja, Milo-lah yang memencet bel karena ia tidak ingin mengganggu Erigo dengan masuk begitu saja.
Erigo menekan knop pintu dan mendorongnya. Terlihat punggung seorang perempuan yang terdiam. Erigo menyipit, merasa familiar dengan punggung itu. Begitu perempuan itu berbalik, Erigo tidak kuasa menahan rasa terkejutnya. Bahkan ketika gadis itu mendekatinya dan menaruh tangannya yang mungil di dahinya, Erigo tidak bisa berbuat apa-apa. Itu Gita. Benar-benar dia.
Tetapi, sedang apa dia?
Awalnya, Erigo mengira, ia sedang bermimpi. Tetapi, suara Gita yang menanyakan kondisinya, membuat perasaannya menjadi hangat. Melihat wajah yang penuh khawatir itu, entah kenapa membuat Erigo sedikit membaik. Ini benar-benar nyata. Gita ada di sini!
Mungkin, dulu, Erigo akan loncat-loncat kegirangan dan memeluk Gita dengan erat. Erigo bahkan bersikap seperti anak kecil yang ingin bermanja-manjaan dengan ibunya. Erigo akan menyuruh Gita masuk ke rumahnya dan makan bersama gadis itu sembari berbincang.
Tetapi, itu dulu.
Kenangan pahit itu menyeruak di ingatan Erigo, membuat pria itu mengusir Gita dengan hati yang dingin dan segera menutup pintu apartemennya. Erigo memegang dadanya dan merasakan degupan jantungnya yang semakin cepat. Pria itu pergi ke dapur dan meneguk segelas air putih. Tiba-tiba sakit kepalanya semakin bertambah. Erigo memilih berbaring di tempat tidur dan memejamkan sepasang matanya. Tadi, begitu ia melihat wajah itu, Erigo merasa ia tidak merasakan sakit apapun, seakan-akan waktu terhenti. Kenangan membuat waktu kembali berjalan, sebagai mestinya.
Sebenci apapun Erigo kepada gadis itu, tidak bisa dipungkiri, ia merindukannya. Ia merindukan gadis jutek itu. Sangat dan teramat dalam.
Tiba-tiba ia merasa dahinya basah karena kain basah yang sengaja ditempelkan di sana. Erigo membuka matanya dan mendapati seseorang yang tengah menatapnya dengan sendu. Erigo menatapnya sedetik, dua detik, lalu menghela napas pelan.
"Aku tidak ingin melihatmu."
Gita. Gadis itu ada di sini, tengah mengompresnya.
"Kamu bisa menutup matamu bila nggak mau melihatku," ujar Gita. "Aku akan tetap di sini hingga kamu mendingan."
"Pergilah."
Gita menatap Erigo dengan tatapan memohon. "Biarkan aku, untuk kali ini aja. Aku akan pergi, besok. Pagi-pagi sekali."
Suara serak Gita membuat Erigo luluh. Ia ingin merengkuh gadis itu dan menangis sepuasnya. Tetapi, tubuhnya terlalu lemas dan rasa marah itu masih ada. Erigo memilih memejamkan mata dan sedikit berharap, bahwa semua ini bukanlah mimpi. Erigo berharap, Gita benar-benar ada di sisinya, merawatnya yang tengah sakit. Erigo pun berharap, begitu ia membuka mata, gadis itu masih ada di sisinya. Tidak meninggalkannya lagi.
Tanpa sadar, Erigo tertidur pulas.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
EnG's-02: Stairway [COMPLETE]
Teen Fiction[SEQUEL OF ELEVATOR] Erigo dan Gita, dua orang yang dulunya tidak pernah mau akur. Tapi itu 'dulu', sebelum ada jembatan yang menghubungi hati mereka masing-masing. Ya, sebelum ada cinta. Mereka dipertemukan di Paris, setelah delapan tahun...