Mentari tidak begitu terik lagi. Ada beberapa orang yang menghabiskan waktu sore-nya di sini, tempat yang damai dan nyaman ini adalah sebuah taman di dekat apartemennya, ada danau juga di sana. Erigo melangkahkan kakinya mendekati pinggiran danau sembari melemparkan pandangannya ke segala arah, mencari seseorang. Begitu mendapati punggung seseorang yang sangat ia kenal, senyumannya mengembang. Lantas ia segera menghampiri wanita itu, lalu melingkarkan kedua lengannya dipinggangnya. Ia letakkan dagunya di pundak wanita itu, melepas rindu yang ia tahan berhari-hari. Sementara wanita itu membeku, syok dengan perlakuan mendadak pria itu, membuatnya sedikit malu.
"Erigo...," ucap wanita itu, canggung.
Erigo semakin membenamkan wajahnya di bahu wanita itu. "Sebentar aja."
Obrolannya dengan Leo tadi membuat Erigo sedikit sentimental. Ketika melihat punggung itu, ia ingin mendekapnya se-lama mungkin, enggan melepaskannya karena takut kehilangan lagi. Membicarakan masa lalu hanya membuat ketakutan Erigo akan kehilangan Gita lagi semakin besar, membuatnya gelisah. Erigo hanya ingin bersama Gita. Erigo hanya ingin memiliki Gita.
Erigo melepaskan pelukannya. Gita berbalik, berpapasan dengan Erigo yang wajahnya sendu. Sementara Erigo, ia bisa melihat jelas rasa lelah di wajah Gita. Kulit dan bibirnya lebih pucat. Kantung matanya pun semakin besar dan rambutnya pun terlihat kering. Gadis itu benar-benar bekerja keras.
"Gue belum mandi..." ujar Gita dengan suara sedikit serak.
Mendengarnya membuat Erigo tersenyum. "Sebelum ke sini lo pakai parfum, kan?"
"Wangi yang menggambarkan lo banget. Vanilla."
"Gue cuman nggak mau orang-orang pada terganggu sama bau gue." balas Gita, gengsi. Wanita itu seperti biasa, tidak ingin kelihatan menjaga penampilan di depan Erigo. Ia selalu ingin terlihat natural di depan pria itu. Erigo selalu tahu apa yang berubah dari Gita, tetapi ia jarang membahasnya. Terkadang, ia menggunakan perubahan itu hanya untuk menggoda Gita hingga gadis itu marah. Erigo mengerti bahwa semua perempuan ingin terlihat sebagai sosok yang terbaik di depan kekasihnya. Menurut Erigo, Gita adalah sosok yang terbaik baginya.
Erigo menyingkirkan anak-anak rambut yang sedikit menutupi wajah cantik Gita. Wanita itu kembali menjadi sosok yang kaku. Entah kenapa, Erigo selalu suka melihat sisi Gita yang seperti ini. Ia terlihat seperti anak kucing. Menggemaskan.
"Lo kapan liburnya, sih?" tanya Erigo, setelah sukses melihat wajah Gita dengan sempurna.
Gita berdehem, menghilangkan sedikit rasa canggungnya. "Belum tahu. Pekerjaan lagi banyak-banyaknya."
Gue pengen jalan-jalan, tapi lo-nya kerja mulu. Cuti, dong." bujuk Erigo, memelas.
Gita terkekeh melihatnya. "Sebegitu kangennya sama gue, ya?"
"Banget!"
"Sebesar apa?"
"Nggak bisa diukur."
"Jangan-jangan sebesar atom, doang?"
Erigo memajukan bibirnya, merajuk. "Ngeraguin, nih? Mau dibuktiin sebesar apa?"
Mendengar hal itu, membuat Gita tersipu malu. "Apasih, Erigo!"
Wajah memerah itu, lagi-lagi membuat jantung Erigo berdebar semakin cepat, membuat Erigo perlahan mendekat hingga jarak di antara ia dan Gita sirna. Lengannya melingkar di leher Gita, membawa gadis itu kedekapannya. Ia tidak bisa menahan untuk memeluk gadis itu. Ternyata, efek rindu bisa semenakjubkan ini.
"Ada dengan lo hari ini?" bisik Gita yang sedikit bingung dengan perlakuan Erigo.
"Tiba-tiba aja gue teringat masa lalu," ucap Erigo sendu, "Dan gue takut kehilangan lo lagi."
Gita membalas pelukan Erigo. "Semuanya udah berlalu dan gue di sini. Jangan khawatir."
Erigo memeluk Gita lebih erat. "Satu-satunya hal yang paling berharga bagi gue di dunia ini adalah lo, Git. Suatu hari nanti, mungkin ada masalah di antara kita. Gue harap, kita bisa menyelesaikannya bersama tanpa ada hal-hal yang menyakitkan. Memikirkan bagaimana kita berpisah, rasanya, gue nggak sanggup. Gue nggak akan pernah sanggup, Git."
Mendengar kata-kata manis itu keluar dari mulut Erigo, membuat sepasang mata Gita berkaca-kaca. Masa lalu pasti membuat Erigo trauma dengan kata perpisahan. Seharusnya, Gita merasa senang karena bisa merasakan rasa sayang Erigo kepadanya. Namun, ia hanya bisa menangis tanpa suara. Ada segurat rasa khawatir dan penyesalan dihatinya.
Kata-kata tulus itu menohoknya, tepat sasaran.
****
Gita merebahkan diri di kasurnya setelah sekian lama ia tidak pulang ke rumah, walau besok, pagi-pagi sekali, ia harus kembali ke kantor. Gita memejamkan matanya, mengusir pikiran-pikiran tentang pekerjaannya sebisa mungkin. Ia hanya ingin beristirahat di rumah dengan tenang.
Suara ketukan pintu membuat Gita membuka matanya. Begitu melihat sosok Leo, Gita mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. Leo membawakan segelas air, lalu memberikannya ke Gita. "Lo kelihatan dehidrasi."
Gita mengambilnya dari Leo, lalu meneguknya hingga tidak bersisa. Setelah minum, Gita baru merasa kalau ia tengah haus. Padahal tadinya, ia merasa baik-baik saja.
"Tadi Kak Erigo datang." ucap Leo sembari mengambil gelas kosong tersebut dari tangan Gita.
Gita mengerutkan dahinya. "Jadi, itu alasan lo nelpon gue?"
Tadi siang, Leo menelpon Gita, tumben karena biasanya, Gita yang menghubungi Leo. Leo bilang, apakah kakaknya bertemu dengan Gita beberapa hari ini dan Gita bilang tidak. Leo menyarankan, sebaiknya Gita mengajak Erigo bertemu, lalu mematikan panggilan tanpa alasan yang jelas. Gita merasa bingung, tetapi tidak ada salahnya juga untuk bertemu dengan Erigo. Akhir-akhir ini, ia tidak mengangkat panggilan Erigo karena kesibukannya. Oleh karena itu, Gita mengirim pesan ke Erigo untuk bertemu dengannya di taman dekat apartemen. Seperti itulah ia bertemu dengan Erigo tadi sore.
"Tadi dia ke sini nyari Kakak. Tapi, karena kakak nggak ada, jadi dia nemenin gue. Beli bahan makanan-lah, bersih-bersih, terus buat nasi goreng. Gue jadi nggak tega ngelihatnya, makanya gue nelpon lo." balas Leo. "Dan kami sedikit membahas masa lalu dan dia minta maaf, lagi."
Perkataan Leo barusan membuat Gita teringat kejadian tadi sore ketika Erigo memeluknya dengan erat. Mengingat hal itu membuat jantung Gita berdebar tak karuan. Gita memegang pipinya, merasa sedikit panas.
"Apakah gue demam?" gumamnya.
"Kakak demam?" tanya Leo, khawatir.
Gita menggeleng. "Nggak, nggak."
Leo memanggut-manggut, lalu keluar dari kamar Gita karena merasa Kakaknya itu sedang butuh waktu untuk sendiri. Sementara Gita, pikirannya masih terpenuhi dengan perlakuan manis Erigo. Biasanya, Erigo itu manis, tetapi ia tidak pernah mengira Erigo bisa semanis itu. Pria itu lagi-lagi membuatnya kembali merasakan cinta, setelah sekian lama.
Drrt... drrt...
Gita mengecek ponselnya. Ada satu pesan baru.
Kev.
Come here. I need you. Too much.
Hanya dengan kata-kata itu, Gita segera bangkit dari kasurnya dan menyambar jaketnya tanpa menghias diri lagi. Kepalanya yang tadi memikirkan Erigo, kini beralih memikirkan Kev. Seketika saja, rasa khawatir Gita menjalar di seluruh tubuhnya. Gita takut Kev kenapa-kenapa.
Saat ini, Gita sangat memprioritaskan Kev, sehingga Erigo dapat dilupakan dengan mudah.
****
![](https://img.wattpad.com/cover/136345025-288-k102409.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
EnG's-02: Stairway [COMPLETE]
Novela Juvenil[SEQUEL OF ELEVATOR] Erigo dan Gita, dua orang yang dulunya tidak pernah mau akur. Tapi itu 'dulu', sebelum ada jembatan yang menghubungi hati mereka masing-masing. Ya, sebelum ada cinta. Mereka dipertemukan di Paris, setelah delapan tahun...