04-Sebuah Rasa Syukur

376 36 0
                                    

Kedua tangannya penuh dengan kantung plastik putih yang berisi bahan makanan dan makanan ringan. Kini ia tengah berdiri di depan pintu apartemen seseorang, lalu memecet bel. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan seorang laki-laki dengan rambut acak-acakkan, kaos oblong, dan celana pendek. Dilihat dari matanya, ia sedikit terkejut dengan kehadirannya.

"Kak Erigo?"

Erigo tersenyum. "Apa kabar, Le?"

Ia mengangguk. "Baik, Kak. Ayo masuk."

Erigo mengikuti Leo masuk, sembari melempar pandangan ke segala arah. Ukuran apartemennya hampir sama dengan yang punya Erigo karena mereka tinggal di gedung yang sama. Hanya saja, apartemen Gita sedikit berantakkan. Piring dan gelas kotor menumpuk, pakaian berceceran dimana-mana, dan bungkus makanan ringan yang bertebaran di sofa. Leo menyadarinya, lalu segera membuang sampah-sampah itu pada tempatnya.

"Maaf, Kak, berantakkan." ucap Leo, malu-malu.

"Nggak apa-apa. Memang sewajarnya kalau lihat tempat tinggal cowok." balas Erigo, menenangkan karena apartemen Erigo malah lebih berantakkan dari ini. Wajar saja karena Gita jarang pulang ke rumah dan Leo yang kini statusnya adalah mahasiswa yang memiliki setumpuk tugas.

Setelah menimbang, akhirnya Erigo memutuskan untuk mengunjungi apartemen Gita karena khawatir. Sejak kemarin, setelah Sam mengatakan hal-hal yang hampir membuat hatinya berpaling, Erigo gundah. Ia hanya takut, ada sesuatu yang terjadi dengan Gita. Namun, ia juga telah menduga, mungkin saja Gita sibuk dengan pekerjaannya. Hal itu terjawab ketika ia melihat Leo yang sendirian di apartemen ini.

"Kak Gita belum pulang, udah seminggu," ujar Leo ketika Erigo meletakkan barang-barang bawaannya di sofa, "Kemarin ada nelpon, cuman nanya persediaan makanan di kulkas. Cuman lima menit, malah."

Erigo memanggut-manggut. "Lagi bikin tugas, Le?"

"Begitulah," jawab Leo, "Mau minum apa?"

"Santai aja, Le. Kerjain aja tugasnya. Anggap aja gue saudara lo. Senyamannya aja, lah pokoknya." sahut Erigo yang menyadari kecanggungan Leo.

Wajar saja ia secanggung ini dengan Leo. Baru kali ini ia mengunjungi apartemen ini dan Leo karena kesibukkannya. Ia pikir, ia sedikit egois karena hanya ingin bertemu Gita. Padahal ia bisa mendekatkan diri dengan Leo ketika Gita sibuk dengan pekerjaannya. Melihat Leo yang sendirian dan keadaan rumah yang seperti ini, entah kenapa, Erigo merasakan kesepian yang dirasakan Leo.

"Mana bisa gue—,"

"Serius, Le. Kerjain aja."

Setelah berpikir beberapa saat, Leo kembali dengan laptopnya yang sedaritadi dibiarkan menyala di atas meja. "Gue bakal nyelesain secepatnya."

"Santai~"

"Setelah meminta izin Leo, Erigo keliling apartemen Gita. Tentu saja, ia tidak memasuki kamar Gita atau Leo karena akan melanggar privasi mereka dan membuat situasi menjadi tidak nyaman. Karena takut mengganggu Leo bila ia duduk di sofa, Erigo mengambil barang-barang bawaannya dan menyusunnya di lemari pendingin dan lemari untuk menyimpan bahan makanan. Leo masih berkutat dengan laptopnya, tidak menyadari apa yang tengah dilakukan Erigo. Sepertinya, Leo tidak sempat untuk berbelanja. Hanya ada tiga botol air mineral di kulkas dan dua bungkus mie instan di lemari makanan.

Erigo beralih mencuci piring dan gelas yang kotor. Ia menikmati aktivitasnya. Karena terbiasa hidup sendiri, Erigo tidak keberatan melakukannya. Walaupun rumah Erigo berantakkan, Erigo tidak akan membiarkan dapurnya kotor karena baginya, dapur adalah kehidupan. Tanpa dapur, ia tidak bisa memasak. Tanpa memasak, tidak ada makanan. Tidak ada makanan, ia bakal kelaparan. Sebuah pemikiran yang tidak salah dari Erigo Pratama.

Setelah urusan mencuci piring beres, Erigo mengambil talenan dan mulai membuat bumbu untuk nasi goreng. Ia memasak nasi terlebih dahulu. Dilihat dari keadaan dapur dan kondisi tong sampah, Erigo berspekulasi bahwa Leo makan makanan instan beberapa hari ini. Erigo hanya menemukan bungkus-bungkus mie instan di tong sampahnya. Hal itu membuat Erigo mengingat kondisinya dahulu, ketika ia baru merintis bisnisnya. Makan makanan instan sangat menghemat waktu untuk orang yang sibuk, tetapi tidak sehat. Kesehatan itu lebih penting.

Erigo menyajikan dua piring nasi goreng buatannya di meja makan, kemudian mengajak Leo makan malam, walau sekarang masih pukul lima sore. Leo sedikit terkejut dengan hasil karya Erigo. "Daritadi Kakak masak?"

Erigo hanya tersenyum. "Ayo makan."

Leo duduk di seberang Erigo, lalu menyuap suapan pertamanya. Pria itu makan dengan lahap, membuat Erigo sedikit kenyang hanya dengan melihatnya. Sepertinya, dugaan Erigo benar.

"Lo bisa ke rumah gue kalau lagi sendirian di sini," ujar Erigo disela makan, "Rumah gue ada PS, PSP, VR, dan banyak lagi! Kalau perlu nanti gue beli game lagi."

Mendengar peralatan game disebut, mata Leo berbinar-binar. "Beneran?"

Erigo mengangguk. "Nanti gue kasih kode sandinya, mana tau gue belum pulang."

Dengan perbicangan game, obrolan Erigo dan Leo perlahan mencair, tidak secanggung tadi. Leo adalah sosok yang menyenangkan. Ia tidak formal dalam berbicara ke Erigo. Leo terlihat memperlakukan Erigo seperti teman, membuat Erigo tidak perlu khawatir. Kepribadian Leo berbeda dari Gita yang dingin dan suka menyendiri.

"Maaf, nih, baru kali ini main ke sini. Padahal satu lantai." sesal Erigo. Hal itu disebabkan karena kesibukkan Erigo mengurus cabang perusahaannya yang baru selama empat bulan belakangan.

"Gue sering, sih lihat Kakak keluar apartemen. Mau nyapa, eh kelihatannya Kakak buru-buru."

"Maklum, gue sering kesiangan." ucap Erigo malu-malu, "Tapi, tenang aja! Gue nggak sesibuk kemarin-kemarin, kok. Jadi, sapa aja kalau lihat."

Tidak terasa, nasi goreng buatan Erigo habis, dipiring Leo maupun Erigo. Leo meneguk segelas air sebelum membicarakan sesuatu. Erigo menyadari suasananya, hendak mencairkan. Namun, Leo lebih dulu berbicara.

"Sejak kejadian itu, Kak Gita menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Semua yang terjadi, begitu berat, terlebih lagi Kak Gita. Begitu dia di rumah, gue sering ngeliat dia nangis. Tapi, gue nggak nanya karena tahu jawabannya."

Erigo menunduk. Kejadian di masa lalu mulai kembali dibenaknya. "Maaf."

"Jangan meminta maaf, Kak. Semuanya telah berlalu." ucap Leo, terdengar tulus.

Erigo memanggut-manggut. "Gue bersyukur, setelah semua kejadian itu, Tuhan mempertemukan gue lagi dengan Gita."

Mendengar hal itu, membuat Leo tersenyum tipis. Ia bisa mendengar kejujuran Erigo. Lalu ia bangkit dari kursi. "Bentar, ya, Kak. Gue mau nelpon."           

Leo bergegas masuk ke kamarnya untuk menelepon seseorang. Erigo meneguk segelas air mineral sembari mengingat masa lalu. Sejak kejadian itu, kehidupan Erigo pun tidak mudah. Dalam setahun, ia telah pindah sekolah selama lima kali karena pembullyan. Hampir semua masyarakat Indonesia mengetahui kasus Ayahnya yang terpaksa menyeret kehidupan Erigo. Bahkan, Erigo sengaja kuliah di kampus yang tidak terlalu terkenal, walau nyatanya, tetap saja ia dikenali orang-orang. Erigo pernah hampir menyerah. Namun, entah kenapa, Gita selalu terbayang dibenaknya begitu ia berniat mengambil cutter untuk mengiris pergelangan tangannya. Gita membuatnya berpikir, kalau ia pantas menerima semua itu karena Gita adalah korbannya. Kehidupan Gita pun berat. Erigo hanya ingin menanggungnya, demi Gita. Hanya demi gadis itu.

Tidak lama kemudian, Leo menghampiri Erigo yang tiba-tiba termenung. Melihat kehadiran Leo, membuat Erigo bangkit dan membereskan sisa-sisa makanan. Leo mengajukan bantuan, tetapi Erigo melarangnya dan mengatakan sebaiknya Leo melanjutkan tugas kuliahnya. Erigo membereskan semuanya hingga bersih dan rapi.

Drrt... drrtt...

Erigo mengambil ponsel dari sakunya dan melihat satu pesan nyangkut dinotifikasinya. Secercah senyum Erigo muncul. Lalu ia berpamitan dengan Leo karena ia harus pergi ke tempat yang telah disebutkan di pesannya.

Akhirnya, penantian Erigo berbuah manis.

****

EnG's-02: Stairway [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang