"Terimakasih, silahkan datang kembali."
Jeno meregangkan tubuhnya setelah pelanggan terakhir hari ini keluar dari pintu. Jarum pendek jam dinding telah menunjukkan pukul sembilan malam, yang artinya sebentar lagi ia harus pulang.
Jeno melepaskan apron yang ia pakai sembari melangkah keluar dari tempat kasir. Pelanggan hari ini tergolong ramai, hingga ia melupakan keberadaan seorang pemuda mungil yang kini duduk tak jauh darinya dengan tatapan sulit diartikan.
"Kau tak pulang? Tuan muda? Bukannya shift mu sudah lama berakhir?" Ucap jeno sembari meraih beberapa sampah yang tertinggal di meja.
Renjun sedikit menyeringai, ia melepaskan baret yang ia pakai dan beranjak dari duduknya. Kakinya melangkah mendekat pada jeno dengan tangan yang memainkan baret miliknya.
"Oh? Sebuah kemajuan? Kuingat tadi pagi kau masih terlihat seperti tikus yang bertemu kucing saat melihatku."
Jeno menghentikan aktivitasnya lalu menegakkan tubuhnya, ia berbalik menghadap pemuda yang lebih kecil darinya itu. Satu helaan nafas lolos dari bibir jeno, dirinya melipat kedua tangannya didepan dada dan menatap lurus pada renjun yang saat ini naik keatas meja kasir dan duduk diatasnya dengan riang.
"Aku sudah memikirkan ini, apa yang harus kulakukan untukmu? Aku berhutang nyawa padamu kan? Jadi apa yang harus kulakukan agar utang itu terbayar lalu hubungan kita berakhir?" Ucap jeno.
Renjun sedikit memiringkan kepalanya, berlagak seolah ia tengah berpikir dengan jari telunjuk yang bergerak mengetuk bibir bawahnya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum, menyadarkan jeno bahwa sang vampire bangsawan memiliki sebuah gigi tambahan yang menonjol begitu ia tersenyum.
"Nah! Tidak ada. Tidak ada yang bisa kau lakukan untukku, aku tak butuh apapun darimu."
Jeno memutar bola mata malas, sebuah jawaban yang sebenarnya sudah dapat ia tebak. Ia memilih berbalik dan mulai menyelesaikan pekerjaan terakhirnya.
"Hei hei mantan manusia, tidak bisakah kau mengikuti ini semua dengan santai? Memang apa salahnya jika aku berada di sekitarmu? Lagipula kau pasti membutuhkanku kok suatu saat, kau itu tak akan bisa menahan laparmu selamanya."
Jeno menghela nafasnya lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Kalau begitu kenapa waktu itu kau harus repot-repot meng-"
Jeno tak menyelesaikan ucapannya, gerakan renjun yang dengan cepat membanting tubuhnya membuat jeno refleks menutup kedua matanya siap untuk merasakan kerasnya lantai di punggungnya.
"Hei kau apa-apaan!"
Jeno mengumpat tanpa suara sembari mengusap pinggangnya yang terasa akan hancur jika digerakkan, sementara renjun malah duduk diatasnya tanpa ada niat akan pindah.
Renjun berdesis pelan, memberi isyarat agar jeno diam sejenak. Membuat atensi pemuda dibawahnya teralihkan dan menyadari bahwa renjun tak lagi mengenakan pakaian yang sama seperti sebelumnya.
"Apa yang-"
"Piri."
Jeno mengernyitkan dahinya tak mengerti, bukan tak mengerti apa arti dari kata tersebut tetapi ia tak mengerti maksud renjun mengucapkan hal itu.
"Tutup telingamu."
"Jelaskan padaku kenapa aku harus-"
"Berisik! Tutup saja!" Sepasang netra semerah darah itu melirik tajam pada jeno, membuat jeno meneguk ludah kasar karena terkejut.
"O-oke aku tutup telingaku, sekarang bisa turun dari tubuhku? Aku bisa mati," ucap jeno dengan pandangan menusuk pada renjun.
"Kau tak akan mati lagi kecuali aku hancurkan jantungmu tuan," ucap renjun sembari balas menatap tajam jeno tanpa merubah posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (End) ✔
FanfictionJeno yang hampir meregang nyawa dan membuatnya menjalani kehidupan yang 180 derajat berbeda dengan kehidupan yang ia jalani sebelumnya. Warn! Shounen-ai!