In my blood

5.2K 883 23
                                    

Manik Renjun menerawang jauh keatas, memandang bulan yang bulat tak sempurna dengan mulut sibuk mengunyah cupcake yang sebelumnya disediakan oleh Lucas. Satu tangannya mengelus lembut surai kelinci yang di tangkap oleh Jeno beberapa bulan lalu dipangkuannya.

Mansionnya terasa sepi. Jeno pamit kepadanya kemarin untuk mengunjungi adiknya, sementara Lucas entah kenapa akhir-akhir ini ikut sibuk. Lucas hanya beralasan padanya jika dunia bawah sedang tak baik-baik saja. Ada sesuatu yang dicuri dari dunia bawah dan Lucas, sebagai salah satu iblis petinggi harus ikut serta menangani masalah tersebut. Renjun tentu tak dapat menghalangi Lucas ataupun Jeno, mereka berdua punya masalah yang lebih penting sekadar hanya untuk duduk diam disini dan menikmati teh bersamanya.

Meski sebelumnya Jeno bersikukuh akan kembali secepat yang ia bisa, Renjun tak boleh berharap lebih. Adik Jeno tentu lebih membutuhkan Jeno daripadanya. Namun Renjun tak juga dapat menampik rasa bahagia dalam dirinya karena Jeno menjanjikan hal seperti itu padanya.

Seolah-olah hubungannya dan Jeno makin bertambah baik, dan bukannya didasari oleh rasa takut ataupun utang budi semata.

"Mau ini?"

Renjun menyodorkan sisa cupcakenya kepada kelinci yang sekarang makin bertambah gemuk itu. Kelinci tersebut mengendus-endus, lalu mulai menggigit kecil cupcake yang disodorkan oleh Renjun.

Kini Renjun merasa sangat bodoh dan kesepian sekali sampai-sampai mengajak bicara kelinci dan menawarinya kudapan.

Akhirnya Renjun menghela napas panjang. "Aku jadi penasaran, kapan Minhyung akan menyerangku seperti yang digembor-gemborkannya. Dia pikir dengan membunuhku akan menaikkan statusnya diantara para vampire apa? Dasar berandal."

Angin malam bertiup sedikit lebih kencang, menerbangkan dedaunan kering dari hutan diseberang mansion Renjun. Rambut Renjun ikut bergoyang untuk beberapa saat lalu kembali jatuh secara berantakan.

Renjun tak tau akan melakukan apalagi selain duduk-duduk didepan mansion dengan kelinci dipangkuannya. Namun belum lama ia melamun, sebuah siulan memekakkan disertai sebuah angin kencang menampar wajahnya. Kelinci dipangkuannya melompat dan masuk kedalam mansion, meninggalkan Renjun yang masih berusaha menampik angin dan juga dedaunan kering yang menampar-nampar tubuhnya.

Renjun mengibaskan tangannya, seketika pedang sebesar tubuhnya sendiri muncul dari udara kosong, berdenyar lembut namun mematikan ditengah gelapnya malam. Renjun mengangkat pedang yang apabila dilihat secara sekilas pun sepertinya akan mustahil untuk diangkat seseorang dengan tubuh seperti Renjun, namun Renjun mengangkat pedangnya dengan mudah dan menyabetkannya pada udara kosong.

Pusaran angin terbuyar dalam satu kali sabetan pedang Renjun, dedaunan dan ranting kering yang ikut terbawa berjatuhan pun dengan sebuah perkamen kaku yang tergeletak ditengah-tengah sampah organik tersebut.

Renjun mendengus dan menyeret pedangnya hingga membuat jalur ditanah. Dia membungkuk dengan tak menurunkan kewaspadaan dan memungut perkamen super kusut tersebut. Tulisan diatasnya tidaklah asing. Huruf-huruf ditorehkan dengan sangat rapi menggunakan pena bulu bertinta merah yang menurutnya khas sekali milik seseorang.

"Ah jadi mainmu sekarang begini? Minhyung?"

Hanya dengan membaca sepenggal kalimat dari perkamen tersebut, Renjun sudah mengerti keseluruhan isinya. Renjun tertawa sinis dan meremat perkamen tersebut, membiarkannya terbakar dalam genggamannya dan menaburkannya sebagai abu.

Minhyung tengah menguji dirinya, memberi dirinya pilihan untuk menyerahkan jabatan dan kekuatannya atau tetap egois dan mengorbankan orang-orang disekitarnya.

_____________

"Aku akan berkunjung lagi bulan depan, mungkin agak telat. Tidak apa-apa kan?" Ujar Jeno dengan suara lembut nan protektif, dirinya bahkan mengusap sayang surai sang adik yang telah tumbuh beberapa senti lebih tinggi dari sebelum dirinya meninggalkan rumah.

Hyena menepis tangan Jeno dari pucuk kepalanya dan memberinya pandangan yang menyiratkan bahwa dirinya bukan lagi anak kecil. "Tidak mengunjungiku juga tidak apa-apa kok, lagipula kakak harus membantu Renjun kan?"

Jeno tak mengerti arti pandangan adiknya yang kilat matanya menyiratkan godaan jahil. Tapi dia memilih untuk mengacak rambut gadis itu lagi.

"Renjun itu jauh lebih kuat dariku, justru akulah yang terlalu sering merepotkannya dan membutuhkan bantuannya."

Hyena mencebik dan berdecak pelan. "Kau ini bodoh atau bagaimana sih? Ah sudahlah aku capek berbicara pada kakak yang tidak peka sepertimu. Dah aku masuk dulu, sampai jumpa. Jangan lupa perhatikan Renjun terus, dia sudah sangat baik padaku. Bahkan yang punya kekuatan besar sepertinya bisa saja menjadi lemah sampai butuh bantuan orang. Ingat saja kata-kataku!" Setelah mengoceh panjang lebar Hyena kembali naik ke asramanya, meninggalkan Jeno seorang diri didepan pintu masuk asrama dengan beberapa orang gadis yang diam-diam curi pandang padanya.

Hyena pun tak dapat menampik fakta bahwa semenjak kakaknya bukan lagi seorang manusia fana, penampilan kakaknya berubah drastis menjadi jauh lebih keren. Meskipun sifatnya masih saja sama.

Jeno menatap kepergian Hyena untuk yang kesekian kalinya, ia tersenyum dan menggeleng kecil. Kemudian setelah Hyena benar-benar menghilang dibalik tembok, barulah Jeno berbalik melangkah meninggalkan asrama adiknya. Dirinya berniat mampir ke beberapa toko kue sebelum pulang ke mansion Renjun, membelikan beberapa cupcake juga Madeleine untuk sang vampire manis mengingat betapa Renjun menyukai kudapan itu.

Jeno baru melangkahkan kaki keluar gerbang sekolah adiknya saat tiba-tiba saja angin kencang menampar tubuhnya. Jaket kulitnya bergelombang ditiup angin begitupun rambut putihnya yang tersingkap kebelakang karenanya.

Jeno mengangkat tangan kanannya, menggigit nadinya hingga mengucurkan darah dan mengibaskannya keudara kosong hingga dari darah yang menetes tersebut, terbentuklah satu set busur dan anak panah yang ujungnya berkilat perak. Jeno baru mempelajari trik ini ketika tanpa sengaja suatu hari dirinya tak sengaja melukai diri sendiri dan menghadirkan dagger sepanjang sepuluh sentimeter dari udara kosong.

Jeno sedikit menggerutu karena yang keluar kali ini adalah satu set panahan, sebab dengan angin sekencang ini bagaimana bisa dia menembakkan panah entah kepada siapa yang membuat badai kecil ini.

Meski begitu Jeno tetap menyiagakan panahnya. Dia melirik ke sekitar. Orang-orang telah lenyap dan yang tersisa hanya dirinya seorang ditengah angin yang kencang. Gadis-gadis yang tadi memperhatikannya pun ikut lenyap seolah-olah seseorang menarik mereka kedalam kegelapan.

Kegelapan. Pikir Jeno, yang segera setelahnya berputar dan dengan cepat melepaskan anak panahnya ke sebuah bayangan berbentuk kelinci disudut gedung.

Sedikit aneh karena anak panahnya melesat cepat tanpa halangan ditengah angin kencang.

"Nah kemampuanmu memang lumayan bagus, tapi anak panah sekecil ini tak akan bisa melukaiku," ujar seseorang yang melangkah keluar dari bayangan tersebut.

Jeno mengambil sebuah anak panahnya lagi dan memasangkannya pada busur keperakannya. sementara anak panah terdahulunya dengan mudah berada digenggaman lelaki yang muncul dari bayangan itu.

Bunyi krek menyakitkan terdengar saat lelaki itu mematahkan anak panah Jeno menjadi dua bagian. Entah atas alasan apa, sebelah tangan Renjun untuk sepersekian detik ikut merasa sakit. Bahkan ruam ungu mulai muncul dipermukaan kulitnya begitu rasa sakitnya menghilang.

Jeno tak punya waktu untuk memikirkannya, fokusnya kini harus ia taruh sepenuhnya pada orang ini. Jeno menyipitkan matanya, berusaha menangkap wajah lelaki itu ditengah debu yang berterbangan terbawa angin.

"Kau--"

Lelaki itu tersenyum ramah, namun tangannya membuang anak panah Jeno kedalam bayangan.

"Lee Minhyung! Senang bertemu denganmu, Jeno. Aku punya beberapa kesepakatan yang bisa kubagi denganmu. Tertarik?"

___________

To be continued

___________

Aku janji bakal update chapter selanjutnya ga lama-lama banget hehe.

Mind to review?

Full Moon (End) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang