Kelopak mawar sewarna darah mulai berguguran seiring dengan semilir angin yang berhembus melewati celah jendela, mengibarkan tirai yang menjadi penghalangnya.
Ruangan yang beberapa bulan lalu hanya berisi sebuah peti dan puluhan lilin temaram yang menjadi satu-satunya penerangan didalamnya itu perlahan ditumbuhi pohon-pohon mawar yang merambat di dindingnya, setidaknya selama hampir enam bulan ini.
Seseorang yang terbaring dalam balutan jas putih didalam peti masih sama, masih memejamkan mata dengan kulit yang makin memucat.
Drrk!
Derit pintu terbuka mengisi keheningan ruangan. Bayangan panjang yang berasal dari seorang pemuda bersurai putih terpantul melalui penerangan diluar ruangan.
Pantofel di sepasang kakinya mengetuk lantai marmer dibawah, terdengar nyaring seiring dengan langkahnya yang makin mendekat pada peti di tengah ruangan.
Sepasang netra heterochromia itu menatap lurus pada tirai yang berhenti dikibarkan oleh angin, kemudian tangannya bergerak kecil menyibakkan tirai tersebut tanpa menyentuhnya hingga cahaya matahari dari luar masuk ke dalam sepenuhnya.
Kemudian pandangannya menurun kearah peti, ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya berlutut di samping peti tersebut.
"Ah hampir tertimbun kelopak mawar lagi ya," gumam Jeno sembari mengeluarkan satu persatu kelopak yang berjatuhan didalam peti.
Beberapa bulan lalu mawar-mawar ini tumbuh begitu saja, tepat setelah tujuh hari Renjun tak sadarkan diri. Tumbuh dengan cepat hingga dalam tiga hari saja hampir separuh dinding tertutup tanaman tersebut.
"Apa memandanginya sepanjang hari juga tugasmu?"
Jeno tersentak kaget saat tiba-tiba saja Dohyun muncul di sampingnya dengan kelinci Renjun di gendongan anak itu.
"Sudah kubilang jangan masuk sembarangan apalagi membawa kelinci," ucap Jeno memperingatkan anak itu yang tampak tak peduli.
Jeno kemudian beranjak dengan sekeranjang kelopak di tangannya, biasanya Sakura akan datang untuk mengambil kelopak yang entah akan digunakan wanita itu untuk apa.
Akan tetapi belum juga dirinya berbalik, pemandangan di depan matanya membuat jantungnya tiba-tiba terasa akan berhenti. Dengan cepat ia kembali berlutut dan meletakkan lagi keranjang di tangannya.
"Sudah kubilang jangan bawa binatang kemari, lihat dia masuk kedalam pe--"
Hatchi!
Baru saja Jeno akan mengangkat kelinci yang melompat masuk ke dalam peti Renjun, suara bersin dari sang vampire yang kini penampilannya sedikit berbeda itu mengejutkannya untuk yang kedua kali.
Renjun mengerjap membuka mata, mengerutkan kening saat sebuah bola bulu berada tepat didepan matanya, menggerak-gerakan ekor bulatnya tepat di hadapannya hingga membuat ia ingin bersin lagi.
"Menyingkir kau makhluk mistis!" Ujar Renjun sembari mengangkat kelinci itu dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain ia gunakan untuk menyangga tubuhnya sendiri.
"Ah tenggorokanku kering sekali sialan," ucap Renjun lagi dan kini tangannya beralih mengusap leher jenjangnya.
"Berapa lama aku tidur?" Tanyanya entah pada siapa. Bahkan mungkin saja dirinya belum menyadari keberadaan Jeno yang masih terdiam di tempatnya.
"Enam bulan," ujar Jeno pada akhirnya.
Renjun menoleh dan mendapati pemuda bersurai putih itu yang kini tersenyum padanya. "Selamat datang kembali."

KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (End) ✔
أدب الهواةJeno yang hampir meregang nyawa dan membuatnya menjalani kehidupan yang 180 derajat berbeda dengan kehidupan yang ia jalani sebelumnya. Warn! Shounen-ai!