"Kesepakatan?" Ucap Jeno tanpa menurunkan busurnya, bahkan ia makin mengencangkan tali busurnya ketika Minhyung mulai melangkah mendekat.
"Iya kesepakatan! Aku bisa menjadikanmu manusia lagi dan hidup dengan normal kembali, bagaimana?"
Jeno mendengus, rambut putihnya yang berantakan sedikit bersinar berkat mata anak panah yang berdenyar perak. "Coba pikirkan kenapa aku harus mempercayai kata-kata seseorang yang hampir membunuh Renjun?"
Minhyung tertawa sarkas dan menatap Jeno, kilat matanya memancarkan ejekan. "Hampir membunuh? Aku bahkan tak punya niatan membunuhnya. Dan kenapa kau peduli sekali pada si egois itu? Kalian sepasang kekasih atau apa?"
Rahang Jeno bergemelatuk, dirinya mencoba untuk tetap menjaga kekuatan ditangannya. "Kenapa aku peduli? Karena dia yang menolongku selama ini--"
"Menolong! Hah, omong kosong apa itu? Kami bangsa vampire punya satu sifat lahir, kau tau apa? Jadi egois dan haus darah!"
Entah karena suara Minhyung yang persuasif atau apa, Jeno hampir saja terjatuh dalam kata-katanya. Jeno menggigit bibir bawahnya dengan taringnya sendiri hingga berdarah, dengan begitu dirinya berharap masih punya kesadaran utuh agar tak terpedaya kata-kata Minhyung.
"Aku percaya padanya," ucap Jeno tanpa mempedulikan darah dari sudut bibirnya yang mulai menetes.
"Benarkah? Tapi wajahmu sepertinya tidak tampak yakin. Aku bisa mengembalikan kehidupanmu lagi, kau bisa hidup bersama adik kecilmu dan mungkin saja kau bisa mendapat teman hidup yang setara denganmu, jadi kau tak perlu lagi hidup bersama Renjun--"
"Berhentilah beromong kosong!" Jeno tak tau kenapa dirinya tiba-tiba merasa begitu marah, dilepaskannya anak panah dari tali busur yang ditahannya dan melesatlah anak panah keperakan yang meninggalkan berkas cahaya keperakan di udara.
Udara terbelah begitu saja, tak ada tanda-tanda keberadaan Minhyung ditempatnya berdiri tadi. Suasana kembali normal, para gadis yang sebelumnya memperhatikan Jeno masih berdiri ditempat yang sama seperti sebelumnya seolah tak ada apapun yang terjadi.
Jeno sadar sudah memperhatikan para gadis itu terlalu lama hingga para gadis itu berbisik-bisik salah tingkah sendiri, membuat Jeno memalingkan segera wajahnya dan melangkah pergi sembari menyandangkan wadah panah di bahunya. Ia tak peduli bagaimana orang-orang melihatnya yang mungkin saja aneh menurut mereka. Seorang pemuda bersurai putih, dengan jaket kulit hitam dan kaus putih menenteng busur juga menyandang wadah panah tak umum ditemukan di kota ini.
Melupakan tujuan awalnya, Jeno memilih untuk segera kembali ke mansion Renjun.
_________
Renjun tengah menyesap teh seorang diri di halaman belakang mansionnya ketika Jeno tiba-tiba saja datang dengan busur dan panah yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dengan wajah bercampur antara panik dan gelisah, pemuda bersurai putih itu menghampiri Renjun dan menghambur memeluknya erat tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"A-ada apa ini? Kenapa tiba-tiba?" Renjun tanpa sadar ikut panik. Dirinya hendak mendorong tubuh Jeno agar menjauh, tetapi dekapan pemuda itu makin erat ditambah Jeno yang kini malah membenamkan wajahnya diperpotongan leher Renjun.
Akhirnya Renjun menyerah dan membiarkan Jeno memeluknya sesuka hati. Padahal sebenarnya Renjun tak terlalu suka dipeluk seperti ini, tapi ternyata tak terlalu buruk juga pikirnya.
Setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan, Jeno melepaskan pelukannya pada Renjun. Renjun menaikkan sebelah alisnya sebagai gestur meminta penjelasan pada Jeno. Dan Jeno, sepertinya pemuda itu baru sadar akan apa yang dilakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (End) ✔
FanfictionJeno yang hampir meregang nyawa dan membuatnya menjalani kehidupan yang 180 derajat berbeda dengan kehidupan yang ia jalani sebelumnya. Warn! Shounen-ai!