Jangan tanyakan apa yang terjadi pada malam itu. Malam yang tiba-tiba menjadi kelabu bagi Maura. Hatinya mencelos.
Saat Devan mengakui itu, sepertinya Tuhan sedang berbaik hati pada Maura, tidak membiarkan Maura bereaksi ataupun menanggapi pengakuan Devan yang membuat Maura hilang harapan padanya. Ayahnya datang, secara alami menghentikan pembicaraan mereka berdua. Maura tidak berkata lagi, membiarkan Devan berbicara dengan Ayahnya sebentar lalu pergi. Sempat pamit pada Maura, tapi Maura hanya mengangguk sambil menatap layar ponselnya yang kosong.
Devan mengiriminya beberapa pesan. Empat atau tujuh, entah lah. Tapi dari semua itu, tidak ada satu pun yang Maura baca.
Kamis, hari ini Maura mengikuti UTS. Selasa malam, Maura sudah diperbolehkan untuk pulang dan dianjurkan untuk full bedrest sebelum kembali beraktivitas. Jadi ia tidak mengikuti dua hari UTS, Selasa dan Rabu.
Sedari tadi Gerry menghibur Maura, mengajaknya berbicara dan bercanda. Maura menanggapinya dengan semampunya dan Gerry memakluminya. Ia terus menggenggam tangan Maura yang menganggur di atas meja, "Semangat ya, jangan lupa berdoa."
Maura tersenyum sambil mengangguk. Ia masih terlihat pucat juga sedikit lemas.
Gerry pamit kembali ke kelasnya karena ujian akan dimulai beberapa menit lagi.
Selama ujian berlangsung, Maura sedikit mendapati kendala, kepalanya beberapa kali terasa sakit dan matanya yang sedikit kabur. Tapi syukurlah ia dapat menyelesaikan dua matakuliahnya walau agak telat mengumpulkannya. Soal hasil, Maura hanya bisa berharap, setidaknya tidak di bawah 70.
Gerry dengan setia menunggu Maura di depan kelasnya dan ketika Maura keluar kelas dengan sigap ia langsung menggenggam tangan Maura kuat tapi tidak menyakitinya, berharap Maura mendapat energi dari genggamannya. Ia membawa mobil dan bermaksud membawa Maura pulang, tapi Maura tidak mau, "Aku mau ke rumah kamu boleh?"
Mendengar itu, Gerry langsung menengok, "Yang bener? Tumben?" tanyanya cukup bingung.
"Kata kamu, kamu punya adik kecil kan? Aku mau liat. Aku suka anak bayi. Tapi anterin aku dulu beli hadiah buat adik kamu." pinta Maura.
Gerry tersenyum senang, "Iya Ra ..."
Mereka akhirnya berhenti di salah satu mall untuk ke toko khusus perlengkapan bayi. Maura membeli cukup banyak barang, Gerry tentu saja tercengang melihatnya, ia pun langsung menghentikan Maura. Ia berkata untuk membeli satu barang saja tapi Maura tetap kekeuh. Di kasir, Gerry langsung menaruh kartu kreditnya tapi Maura langsung ambil lalu digantikan dengan miliknya, "Aku yang mau hadiahin adik kamu, kenapa kamu yang bayar?" kata Maura sedikit sinis lalu mengembalikan kartu kredit itu kepada pemiliknya.
Di jalan menuju rumah Gerry, Maura terlihat bersemangat padahal sebelumnya ia terlihat kesal dengan Gerry yang merecokinya. Tetapi melihat Maura yang bersemangat sekarang, Gerry ikut senang dan tak sedikitpun melepas tangan Maura. Maura bernyanyi-nyanyi mengikuti alunan musik yang diputar di radio walau dengan lirik yang banyak salah. Tapi walau begitu ia terlihat lucu.
Mereka sudah sampai, Maura pun langsung turun mengambil banyak hadiah di bangku belakang. Gerry menyusul, membantu Maura.
"Assalamualaikum," mereka berdua masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam ..." jawab Papahnya Gerry yang kebetulan sedang ada tamu.
Gerry dan Maura langsung salim, "Pah, kenalin Maura," Gerry mengenalkan Maura pada Papahnya.
"Oh iya, nak Maura, teman sekelas Gerry?" tanya Papahnya Gerry. Maura mengangguk dan tersenyum, "Iya Om,"
Setelah kenalan, mereka berdua langsung ke ruang yang satunya, di sana ada Mamahnya Gerry, Adik kecil dan Abangnya Gerry yang sedang duduk di hambal tebal dengan tv yang menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Melviano
Novela JuvenilHanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab jika pada akhirnya kalian begitu menyayangi kedua karakter yang disebutkan di atas. Selamat membaca da...