Maura diam menatap langit-langit kamarnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke leher.
Tadi saat Maura selesai belajar untuk matakuliah ujiannya besok, Bunda mengajaknya untuk menonton film horror bersama adiknya tapi Maura menolak, ia lebih memilih diam di dalam kamar dengan pikiran kosong.
Sememaksa apapun ia untuk tidur, tetap saja matanya tidak mendukungnya untuk tidur. Padahal sedaritadi ia mendengarkan alunan lagu melow juga pencahayaan lampu tidurnya seharusnya sudah sangat mendukung untuk tidur.
Mata Maura menuju ke ponselnya setelah mendengar ponselnya berbunyi. Maura menebak dengan percayadirinya, kalau bukan Gerry yang menelponnya pasti Devan. Ia lalu mengambilnya dan terkejut dengan tebakkannya. Maura langsung bangun dan terpaku, angkat atau tidak?
Pesan-pesannya saja tidak Maura baca, masa telpon ia angkat? Mana Maura, katanya mau moveon?
Deringan pada ponselnya berhenti, dan itu bagus—kata pikirannya. Tapi kata hatinya, ia menyesal.
Tak lama, yang tadi berhenti, berdering kembali. Kali ini Maura menimbang-nimbang.
Berakhir dengan ia mengangkatnya, tapi tidak menyapa, melainkan yang di seberang sanalah yang memulai.
"Assalamualaikum?"
Ah sial, niat ingin mengabaikan Devan, tapi yang ingin ia abaikan malah mengucapkan salam. Tidak mungkin Maura tidak menjawabnya.
Maura memutuskan untuk menjawabnya di dalam hati saja.
"Kok tidak dijawab?"
Suara itu ... Suara yang ia rindukan.
"Dosa loh tidak menjawab salam,"
Maura memutar bola matanya, "Udah di dalam hati."
"Mana, saya tidak dengar?"
Gimana mau denger, saya aja gak ada di hati bapak. Batin seorang Mahasiswi yang bucin pada Dosennya.
Maura tidak menjawab lagi.
Devan pun ikutan menghening.
Selama beberapa menit seperti itu.
Lama-lama emosi Maura terpancing juga, "Bapak ngapain sih telpon saya kalau gak jelas gini?"
"Gitu dong ngomong, saya kan kangen suara kamu."
Rasanya Maura ingin teriak. Entah apa jenis teriakannya.
"Kalo gak jelas mending telpon pacar bapak aja." judes Maura.
Devan diam sebentar, "Udah barusan,"
"Oh."
"Sampai dia tidur. Tapi dia gak ngorok."
"Trus?"
Gak peduli juga gue. Batin Maura.
"Beda sama kamu, ngorok."
"Bapak kenapa ngeselin sih?!" kesal Maura.
"Kalau saya gak ngeselin, nanti saya gak bisa denger kamu marah-marah lagi."
"Sayanya yang jadi naik darah!"
"Biarin," Devan melanjutkan, "Nanti saya sumbang darah saya untuk kamu."
Maura pun langsung mematikan telpon dari Devan.
"Ngeselin dasar!!" Maura mengomeli ponselnya sendiri, anggap saja itu kuping Devan.
Devan menelpon Maura lagi tapi Maura biarkan sampai ia tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Melviano
Teen FictionHanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab jika pada akhirnya kalian begitu menyayangi kedua karakter yang disebutkan di atas. Selamat membaca da...