Devan mempercepat jalannya, rahangnya mengeras dengan amarahnya yang menggebu-gebu, tatapannya membuat orang-orang yang dilewatinya tidak berani untuk menyapa.
Saat sampai di lantai 30, Devan langsung memasuki ruang rapat yang di dalamnya terdapat sekitar dua puluh orang. Orang-orang menatap Devan kebingungan saat ia menghentak pintu terbuka dengan keras.
Rizky yang sedang presentasi di depan, menghampiri Devan, "Ada apa Van?"
"Semua orang keluar dari ruangan ini kecuali dia," lantang Devan menunjuk ke arah Aldo.
Aldo di ujung sana bereaksi biasa saja.
Mereka tetap celangak-celinguk, masih saja kebingungan tanpa langsung menuruti Devan.
"KELUAR!" bentak Devan.
Mereka langsung buru-buru keluar, kecuali Aldo dan Rizky.
Rizky tidak keluar karena dia tahu jika Devan sedang marah besar seperti ini harus ada orang ketiga yang melerainya.
Devan melangkah cepat dengan kaki panjangnya menuju Aldo, matanya mulai memerah dan satu tinjuan keras langsung mendarat ke tulang pipi juga hidung Aldo.
Aldo tersungkur ke lantai, memegang hidungnya yang sepertinya sedikit retak, belum sempat dia bangkit dari lantai, Devan kembali memberikan Aldo serangan lain. Devan menendang perut Aldo sangat keras.
Rizky menarik Devan, mencoba menenangkannya. Tapi tidak bisa, tenaga Devan terlalu besar.
Aldo bangkit, terpicu untuk membalas. Dengan tenaga yang setara dengan Devan, Aldo langsung menendang Devan dan melayangkan tinjuan secara bertubi-tubi di atas tubuh Devan yang tersungkur.
Rizky buru-buru keluar ruangan memanggil rekan kerjanya yang lain untuk memisahkan mereka berdua.
Devan kembali meninju rahang Aldo, dia bangkit dan menendang kepala Aldo hingga terbentur lantai lalu dia mengunci Aldo di lantai dengan mencekiknya.
"Sekali lagi lo buat Maura memar, nyawa lo yang bakalan gua balikin ke Tuhan." ancam Devan di atas Aldo yang kesulitan bernafas.
Rizky dan rekannya yang lain langsung melerai mereka berdua, memisahkan mereka jauh-jauh.
"Van lo gila?!" tidak percaya Rizky melihat Devan yang seperti sedang kerasukan.
Devan membereskan jasnya, nafasnya memburu, tetap menatap tajam ke arah Aldo yang sedang dibantu untuk berdiri, "Ky, putus kontrak sama banci itu, balikin semua uang kerjasamanya." titah Devan yang lalu meninggalkan ruangan rapat.
-
Maura duduk di balkon rumahnya, memandang langit oranye dengan angin stabil yang membuat anak rambutnya menari-nari. Ponselnya yang bergetar di tangannya tidak samasekali mengganggu lamunan Maura, padahal getaran dari notifikasi grup kelasannya sedang membicarakan Maura yang tadi sangat lama di ruangan dan reaksi Maura yang keluar dari kelas Devan sangat berbeda.
"Saya pastikan kamu tidak akan terluka lagi setelah ini."
Maura tidak tahu apa artinya itu, dia takut Devan mengancam Aldo, walaupun Maura tidak tahu dengan caranya yang bagaimana. Devan tidak pernah sekalipun menunjukkan bagaimana caranya dia marah di hadapan Maura. Yang Maura tahu, Devan orang yang sabar dan tidak pernah marah pada Maura. Itu saja.
Maura mengelus lebam di tangannya, memang sudah tidak sakit, tapi dia belum sadar bahwa itu adalah suatu masalah yang serius yang bisa saja kapanpun akan terjadi lagi. Maura pikir, dipukul tangannya hanya hal biasa, lagipula itu pantas karena itu kesalahnnya juga, sudah membohongi Aldo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Melviano
Teen FictionHanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab jika pada akhirnya kalian begitu menyayangi kedua karakter yang disebutkan di atas. Selamat membaca da...