Maaf karena kelamaan update..
Ini masih berlanjut dari Chapter sebelumnya gaes. Enjoy dan jangan lupa tinggalkan jejak!;)
***
"Kalau saya ada yang nyakitin, Memangnya bapak mau apa?" tanya Maura.
"Saya samperin orangnya."
"Gak percaya." Maura kini mengalihkan perhatiannya pada ponselnya.
"Saya serius." jawab Devan dengan tatapan yang memang serius.
Maura tidak menjawab.
"Saya nanya, Maura." suara Devan sekarang terdengar dingin. Pertanyaannya di awal tidak dijawab Maura.
Maura menaruh ponselnya di sampingnya lalu berkata jujur, "Saya putus sama Gerry, wajar kan nangis?"
"Kenapa putus?" tanya Devan.
"Masalah pribadi." Maura kembali mengambil ponselnya.
Diam-diam ada rasa cemburu dan senang yang bercampur menghampiri Devan. Cemburu karena Maura begitu mendalam menangisi Gerry. Senang karena mereka berdua akhirnya putus.
Ada kedutan di sudut bibir Devan, ia menahan untuk tersenyum. Untungnya tidak dilihat Maura.
"Kita kenapa sih Pak bisa kaya gini?" tanya Maura tiba-tiba. Matanya masih pada ponselnya.
Devan mengerutkan alisnya, "Maksudnya?"
"Kenapa bisa deket? Like, we're too close, gak sih?" Maura tidak berani menatap Devan dan ia juga merasa cukup bangga pada dirinya karena bisa pada intinya bertanya tentang ini.
"Memangnya kenapa?" tanya Devan.
"Kok gak ada jarak di antara kita?" tanya Maura lagi.
"Kamu mau bikin jarak sama saya?"
Di sini Maura mulai diam.
"Kalau diam berarti mau saya jaga jarak sama kamu?"
Maura ingin sekali berkata, "GAK MAU!" tapi tidak bisa, seperti tertahan. Ia gengsi.
"Saya bisa kok, kalau kamu mau."
Maura benar-benar gengsi. Ia merutuki dirinya sendiri.
"Maaf ya kalau saya sudah mengganggu kamu selama ini."
Setelah sekian menit ia tidak berani menatap Devan, sekarang Maura mengangkat matanya menuju mata yang selalu fokus padanya, "Gak gitu!" kata Maura.
"Terus gimana maunya?" tanya Devan serius.
Maura merasa rumahnya seperti sudah tidak ada penduduknya. Kenapa rasanya seperti hanya ada dirinya dan Devan? Kemana orang-orang? Tolong siapapun, tolong alihkan pembicaraan ini.
"Saya tuh kadang bingung, kamu kalau ditanya diam terus." ungkap Devan.
Maura mengutuki Devan yang selalu saja matanya tidak lepas darinya. Apa dia ingin Maura mati muda dengan tatapannya itu? Pasalnya, paras Devan terlalu tampan.
"Tanya apa sih?" Maura mengotak-atik ponselnya, tidak mau menatap si penghipnotis itu.
"Kamu maunya apa?" tanya Devan lagi.
Lagi dan lagi, si anak labil ini tidak bisa menjawab. Ia hanya tidak tahu.
Devan menepuk pipi Maura pelan, "Orang nanya dijawab, dilihat orangnya." protes Devan.
"Maksud maunya saya apa itu apa sih?" tanya Maura dengan kusut.
Devan berdecak, "Kenapa jadi muter-muter sih, Ra?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Melviano
Teen FictionHanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab jika pada akhirnya kalian begitu menyayangi kedua karakter yang disebutkan di atas. Selamat membaca da...