Devan tidak berbohong tentang janji sepihaknya yang akan menjemput-antar Maura. Ia melakukannya hari itu juga, dan hari berikutnya. Sebenarnya Maura menolak dengan caranya yang seperti biasa, marah dan marah. Tapi Devan selalu tahu bagaimana mengatasi itu dan akhirnya membuat Maura menyerah. Walau pada akhirnya mereka tidak berbicara samasekali dalam perjalanan pergi ataupun pulang ke rumah.
"Open page 124," perintah Dosen yang sedang berdiri di depan kelas dengan jari kurusnya yang terus mengebet buku, "Kerjakan bersama kelompok kalian."
Devan masih berdiri di sana, memerhatikan kelas yang sedikit ricuh karena anak-anak yang berganti kursi untuk berkumpul dengan kelompok mereka. Mata Devan jatuh ke gadis yang hampir setiap hari ia temui. Maura diam saja di tempatnya, sedangkan teman-temannya sedang ribet untuk menghampirinya.
"Kelompok Maura cowok semua?" tanya Devan tiba-tiba.
Maura mendelik saat Devan menyebut namanya. Ia tidak menjawab, melainkan Angga yang menjawabnya, "Nggak Pak, ada Maura perempuan."
"I ask besides Maura," sangkal Devan, "Masing-masing dari kalian berempat," Devan menunjuk semua anak cowok yang ada di kelompok Maura, "Pindah ke kelompok 1, 2, 3 dan 4. Dari kelompok yang saya sebutkan tadi salah satu pindah ke kelompok Maura, perempuan semua."
Maura memicingkan matanya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan Devan. Hanya itu. Selebihnya ia tidak ingin memberikan banyak ekspresi lagi, terserah Devan ingin melakukan apa. Masabodo, batinnya.
"Yah Pak, emangnya kenapa dipindahin?" keluh Abdul.
"Saya khawatir hanya Maura yang kalian andalkan," alasan Devan.
"Ya ampun Pak saya sama yang lain bisa bahasa inggris, kecuali Abdul, rendah pengetahuannya." kata Fadli.
"Eh anj—" ucapan kotor Abdul terpotong.
"No objection," Devan kembali ke tempat duduknya, "I give you all an hour to complete your assignment. If you don't finish it, I'll give you C."
Mereka pun langsung menuruti dan mengerjakan yang diperintahkan.
Dalam hati Maura sebenarnya agak jengkel, ia baru sadar ternyata berurusan dengan Devan sangat merepotkan dan menyebalkan. Apa ia harus menghentikan ini semua? Tidak berurusan lagi dengan manusia yang sekarang sedang sibuk mengotak-atik ponsel Maura di depan sana. Mata Maura otomatis terjatuh ke arah ponsel Devan yang ada di mejanya, rasanya ia ingin lempar saja ponsel itu ke gunung merapi.
Seseorang mengetuk pintu kelas dan membuat mereka semua menoleh.
"Permisi Pak," ternyata Bu Hana. Sontak secara otomatis kelas langsung ramai menggoda dua dosen tersebut.
Devan menghampiri Hana dan langsung mengantongi ponsel Maura. Maura bisa melihat ekspresi Devan yang biasa saja atas kedatangan Hana, padahal kelas ramai menggoda mereka berdua. Berbeda dengan Hana yang tersenyum malu-malu.
"Ada apa ya Bu Hana?" tanya Devan setelah sudah berada di hadapan Hana.
"Panggilnya ayang dong Pak!" celetuk Ratu.
Suara tawa anak-anak bersahutan mengisi kelas.
Berbeda dengan Maura yang tetap memerhatikan sambil bersedekap dan bersender di bangkunya.
"Sst," Hana menyuruh mahasiswanya untuk diam sambil masih menahan malu, "Saya boleh kah mengganggu waktu Bapak sebentar? Ada yang mau saya sampaikan ke anak-anak," izinnya.
"Boleh untuk bebeb mah!" kali ini celetuk Abdul.
Devan hanya mengangguk, terlihat tidak memedulikan godaan dari mahasiswanya. Ia pun langsung keluar kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Melviano
Teen FictionHanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab jika pada akhirnya kalian begitu menyayangi kedua karakter yang disebutkan di atas. Selamat membaca da...