Di dalam taxi, Maura menangis dalam diam. Ia mengabaikan rasa sakit yang ditimbulkan dari luka yang ada di kepala juga pelipisnya. Saat tadi ia ingin keluar dari perusaan Aldo, banyak sekali orang yang memerhatikannya, melihat ke arah Maura yang memprihatinkan dengan luka yang seperti habis disiksa. Bahkan Maura sempat mendengar seseorang menanyai kondisinya, tapi Maura hanya tersenyum dan menunduk. Ia terus berjalan. Sampai-sampai dua security yang menjaga di luar, menawarkan untuk membawanya ke rumah sakit, tapi lagi-lagi Maura menolak, ia langsung menaiki taxi.
Rupanya, supir taxi pun juga sama ibanya seperti orang-orang sebelumnya, "Mbak, ke rumah sakit dulu ya?"
Maura mengangkat kepalanya, "Nggak usah Pak, langsung aja ke tujuan. Terimakasih."
"Itu darahnya sampai kering mbak, mukanya jadi biru gitu," kata Bapak taxi prihatin melihat lewat kaca spion.
Maura tersenyum, "Gak apa-apa Pak, terimakasih."
Bapak itu masih tidak tega, "Saya lihat mbak jadi inget anak saya, jahat banget orang yang ngelakuin itu ke mbak astagfirullah."
Maura hanya bisa memberikan senyumnya, sehabis itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Iya, memang. Orang yang melakukan itu memang sakit jiwa.
Tak berselang lama, ponsel Maura berdering. Ia memeriksa siapa kah yang menelponnya,
Devan.
Maura terus memandangi layar ponselnya, perasaan campur aduk yang dulu pernah ia rasakan kembali lagi. Ia terus memandanginya tanpa diangkat, entah apa yang dipikirkan Maura. Ia malah melamun. Hingga dering yang ketiga kalinya, Maura baru sadar dan akhirnya mengangkat telpon dari Devan,
"Maura?" panggil Devan di seberang sana.
"Iya?" jawab Maura pelan. Ia tidak bisa mengontrol suaranya karena gerogi.
"Kamu di mana?" tanya Devan.
Maura berpikir sejenak, "Saya lagi jalan-jalan." bohongnya.
"Tolong, sekali ini saja jangan berbohong. Di mana?"
Maura diam beberapa saat sebelum ia berbicara lagi, "Ada perlu apa?"
"I want to see you right now. I know what that bastard just did to you." jawab suara yang dirindukan Maura sejak lama.
Entah mengapa Maura malah menangis lagi, dan Devan dapat mendengar itu.
"Sst," Devan berusaha menenangkan Maura walau hanya dari sambungan telepon, "Everything gonna be alright. Just let me know, where are you now?"
-
Maura bersyukur di rumah tidak ada Ayah dan Bundanya, ternyata mereka belum pulang dari pekerjaan mereka.
Maura kembali menangis ketika menemui Abel, adiknya yang tadinya sedang menonton drama di laptopnya langsung terkejut melihat penampilan kakaknya yang memprihatinkan.
Abel buru-buru menghampiri kakaknya itu dan Maura langsung memeluk Abel. Ia menangis di pelukan adiknya yang sering menjadi tempatnya bercerita.
Abel memeriksa keadaan kakaknya, ia jadi ikutan menangis, "Kakak kenapa?"
Maura hanya menangis, sesegukan, tidak bisa berbicara. Ia sangat terguncang. Yang biasanya ia sering membuat adiknya menangis, sekarang malah dia yang menangis di hadapan adiknya.
"Kakak duduk, aku ambilin air di baskom sama P3K dulu." Abel menuntun kakaknya untuk duduk, lalu Abel pergi ke dapur.
Maura menghapus air matanya, ia menyenderkan tubuhnya di punggung sofa agar lebih rileks. Kepalanya mulai berdenyut. Mungkin efek dari terlalu banyak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Melviano
Teen FictionHanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab jika pada akhirnya kalian begitu menyayangi kedua karakter yang disebutkan di atas. Selamat membaca da...