MUARA 13

7.9K 995 26
                                    

Kahyang

"Kamu ngapain di sini?"

Mataku nyaris tidak berkedip melihat Ray—di jam kantor seperti ini—justru berdiri di depan rumahku.

Aku teringat ponselku yang masih tersambung sengan Keanu dan langsung kumatikan saja.

"Teman-teman kantor bilang anak kamu sakit, Kay."

Aku mengangkat alis bengong. "Iya anakku memang sakit. Tapi kamu ngapain di sini?"

"Biar aku temani bawa anak kamu ke dokter."

Mulutku ternganga. "Nggak perlu repot-repot, Ray. Aku bisa—"

"Nggak ada waktu lagi, Kay. Kalau anakmu kenapa-kenapa gimana? Kalau kita telat melakukan tindakan untuk anakmu dan ternyata sakit ya serius. Nggak bisa kamu berpikir seperti itu?"

Aku terdiam dan menelan ludah. Ray ada benarnya, dan sejujurnya aku juga ingin membawa Kenzie ke rumah sakit hari ini ditemani oleh tetanggaku Ayla. Tapi tidak kusangka kalau Ray sudah tiba di sini lebih dulu.

"Kamu nggak kerja?"

Ray menunjukan jam di pereglangan tangannya padaku. "Ini jam istirahat, Kay. Dan aku masih punya banyak waktu. Kesehatan anakmu jauh lebih penting."

Aku bingung apa yang harus aku lakukan tapi Ray ada benarnya. "Aku ganti pakaian dulu."

Ray mengangguk. "Aku tunggu di luar."

***

Aku bersyukur karena Kenzie hanya demam biasa efek imunisasi beberapa hari yang lalu. Aku sempat panik kalau anakku terkena DBD.

"Kamu nggak balik kantor, Ray?" Tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil seussi dari rumah sakit.

Ray melirik jam pergelangan tangannya sejenak sebelum kembali menatap jalan di depannya.

"Aku izin, Kay."

"Ha? Serius kamu, Ray?"

Ray hanya mengangguk.

"Kenapa?"

"Cuma ingin menolong kamu, Kay."

Ray berhasil bikin aku ternganga. "Astaga, Ray, kamu nggak perlu melakukan hal seperti itu."

"Aku nggak melakukan apapun."

"Nggak melakukan apapun gimana?"

Ray diam, tatapannya tetap fokus ke depan. Aku juga diam, berulang kali aku menghela napas dengan berat.

"Aku mulai nggak nyaman sama hubungan kita," kataku akhirnya. "Aku harap kamu mengerti kalau aku sudah punya suami dan anak."

Ray menyeringai geli. "Kita berteman kan Kay?"

"Tapi perlakuan kamu ke aku lebih dari teman, Ray. Kamu terlalu berlebihan. Aku nggak mau suamiku dan keluargaku berpikir macem-macem tentang kedekatan kita."

"Aku melakukan semua ini, hanya karena aku peduli. Tidak lebih," ucap Ray dingin. Napasnya berderu kencang. Dia tetap tenang dan fokus, aku tidak mengerti arti dari tatapannya. Kulihat tangannya terkepal di stir mobil sampai buku-buku jarinya memutih.

Aku mulai was-was dengan Ray, aku tidak ingin semua orang jadi salah paham. Ray peduli, aku tahu, karena dari dulu kami memang berteman dekat. Tapi aku justru merasa kedekatan kami lebih dari sakadar "peduli".

****

"Kenapa kamu nggak angkat telfon aku, Yang?" Aku tidak bisa mengabaikan Keanu terlalu lama. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima panggilan teleponnya setelah sudah puluhan kali, mungkin ratusan kali ponselku berdering.

TERBELAHNYA MUARA (segera terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang