Bagian 22 : Jalan

2.7K 284 371
                                    


Warning! Chapter ini full drama yang nyerempet sinetron. Siapkan ember dan tisu di samping kalian, siapa tahu kalian mual dan pengen muntah. Enjoy!


Akbar menatap figura foto yang membingkai dirinya dan Reza saat kelulusan SMA mereka, yang diletakkan Reza di meja nakas kamarnya. Bersebelahan dengan dua bingkai lainnya yang berisi foto wisuda kuliah dan mereka berpose saat liburan bersama keluarga Reza semasa hidup.

Entah kenapa dia tiba-tiba punya pemikiran gila saat mendengar saran Kevin  untuk pergi sementara dari rumah itu, berjaga-jaga jika ayahnya tiba-tiba datang. Dan setelah berpikir hampir seharian, dia sudah memantapkan hatinya untuk menyampaikan hal itu pada mereka saat makan malam.

"Lo udah pikirin soal ngungsinya Bar?" tanya Kevin saat mereka menyelesaikan makan malam bersama.

"Kalo lo nggak punya bayangan mau tinggal dimana, lo bisa ke tempat gue. Besok pagi kita anter lo kesana. Gimana?" tambah Ihsan.

"Bang, Koh, sebenarnya gue punya keinginan, ada tempat yang ingin gue tuju."

"Bagus dong kalau lo udah punya tujuan. Mau kemana emangnya?" tanya Kevin penasaran.

Akbar beberapa kali menggigit bibirnya gugup. Membuat Ihsan dan Kevin saling pandang bingung.

"Gue.... Gue pengen nyusul Reza ke Belanda," jawab Akbar tegas meski dengan volume suara pelan.

"Hah?"

"Opo?!"

Kevin dan Ihsan berteriak hampir bersamaan. Akbar seketika ciut melihatnya. Usulnya memang gila.

"Belanda itu bukannya naik ojol terus bisa nyampe Bar. Sadar nggak lo?" tanya Kevin keheranan.

"Gue paham Koh. Tapi gue bener-bener pengen segera ketemu Reza, jelasin ke dia kalau gue nggak jadi tunangan sama Ratna."

Tiba-tiba Ihsan mengeluarkan ponselnya, menyurukan pada Akbar.

"Nih, lo bisa telpon dia dan bilang sekarang soal itu. Nggak perlu jauh-jauh ke Belanda Akbar."

Akbar menggeleng kuat mendengarnya. Menolak sodoran ponsel Ihsan.

"Lo pikirin lagi deh Bar. Lagian sembilan hari lagi Reza juga balik kan," bujuk Kevin. Masih diikuti gelengan kepala oleh Akbar.

Ihsan memijit pangkal hidungnya.

"Belanda itu luar negeri Bar, Eropa. Lo nggak bisa kesana begitu aja, banyak yang harus diurus. Bukan cuma soal beli tiket pesawat terus bisa langsung berangkat," kata Ihsan, di dukung oleh anggukan Kevin.

Mendengar idenya tak disetujui, Akbar merasa sedih. Matanya berkaca-kaca. Selain karena keinginannya ditentang, tapi juga karena rasa rindunya pada Reza juga sudah tak tertahankan.

Ihsan yang selalu lemah dengan pandangan mata sedih adik-adiknya akhirnya menghela nafas.

"Oke! Lo ke Belanda, nyusul Reza. Puas?"

Akbar tersenyum cerah lalu mengusap pipinya dimana airmata sudah sempat menyusur disana.

"San! Kok lo setuju?" protes Kevin.

"Lo nggak liat dia udah mau nangis gitu? Mana tega gue?" jawab Ihsan.

"Tapi kan-" kata-kata Kevin terpotong saat dia menoleh pada Akbar yang tampak begitu bahagia. Senyum lebar tepatri di wajah manisnya. Kevin sudah tak bisa menyanggah lagi melihatnya.

Akbar bangun dari duduknya kemudian memeluk Kevin dan Ihsan bergantian, meluapkan kebahagiaannya karena usulnya diterima.

"Ya udah, besok gue temenin lo buat ngurus semuanya. Gue ada kenalan yang bisa bantu ngurus visa cepet. Tapi syaratnya, lo harus denger apapun omongan gue, apapun sampai hari keberangkatan lo. Paham?"

Deuxieme Chance -FajRi-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang