Bagian 1 : Langkah Pertama

4.4K 327 24
                                    

Kata orang, saat memulai sesuatu langkah pertamalah yang terberat. Namun tanpa langkah pertama, maka tak akan ada pula langkah kedua dan seterusnya. Bahkan bagi sebagian orang yang telah nyaman dalam comfortzone maka langkah pertama seperti melepas semua kenyamanan yang selama ini dirasakan. Namun manusia adalah mahluk dinamis yang tentu saja harus berubah untuk menuju arah yang lebih baik.

Seperti yang tengah dialami oleh pemuda 25 tahun berkulit bersih yang mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam, khas sekali untuk para pencari kerja. Pemuda bernama Rian itu tampak menatap kembali dirinya yang terlihat dalam pantulan cermin, memperhatikan tubuh atasnya hingga sebatas paha pada cermin di kamarnya. Mengusap pelan kemeja bagian depannya agar telihat makin rapi, menyisir rambutnya dengan jari karena beberapa helai rambut yang mencuat, menunduk untuk melihat ujung celananya memastikan tidak terlipat.

"Sempurna. Tinggal pakai sepatu sama kaos kaki," gumamnya.

"Iya, udah cakep."
Tiba-tiba seseorang menyahut dari arah pintu kamarnya.

Rian mengerucutkan bibirnya menatap sang tamu tak diundang.
"Apa sih Bang Ihsan ih."

Pelaku yang dipanggil Bang Ihsan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Ngaca mulu. Buruan ayok berangkat, tar telat jangan nyalahin gue ya"

"Iya, bang," jawab Rian sambil mulai berjalan meraih kaos kaki putihnya diatas kasur dan menuju arah rak sepatu di samping pintu kamarnya.

Ihsan yang hari ini dimintai tolong oleh Rian mengantarkannya interview ke salah satu perusahaan yang kebetulan searah dengan tempat kerjanya, memutuskan untuk menuju garasi dan mulai memanaskan mobil Agya putih hasil kerjanya selama ini. Rian dan Ihsan tinggal dalam satu sharing home bersama 3 orang lainnya dalam rumah besar berlantai dua yang memiliki 6 kamar dengan garasi besar yang cukup untuk 2 mobil dan beberapa motor serta pekarangan luas yang bisa untuk tambahan parkir mobil. Mereka yang rata-rata adalah perantau saling mengenal karena alumni universitas yang sama meski tidak seangkatan.

Bagi para penghuninya, teman serumah mereka adalah keluarga kedua. Terlebih bagi Rian yang memang sudah tak memiliki keluarga, hanya memiliki seorang adik yang diadopsi oleh sebuah keluarga yang tak mengijinkannya bertemu sang adik.

Rian keluar dari kamarnya dengan menenteng tas punggung berisi CV dan berkas-berkas kebutuhan untuk melamar perkerjaan. Memang Rian baru saja resign dari tempat kerja lamanya agar memperoleh uang pesangon cukup besar demi kebutuhan adik yang tak boleh ditemuinya. Kamar Rian yang terletak di lantai 2 bersebelahan dengan kamar Ihsan dan sebuah kamar yang masih kosong. Seseorang menyapa Rian saat tengah menuruni tangga dan dibalasnya dengan senyuman.

"Jadi mau ngelamar kerja hari ini?" tanya cowok berambut jabrik yang tengah memakan roti sobek sambil membuka portal berita dari ponsel pintarnya duduk di kursi meja makan.

"Jadi dong nov, emangnya kalo gue nggak kerja mau lo bayarin makan tiap hari?"

Rinov, salah satu teman serumah Rian hanya tergelak mendengarnya.

"Kalo mau gue halalin dulu boleh deh Mas Yan," goda Rinov

"Hush! Gayaan mau halalin orang, skripsi tuh cepetan dikelarin. Kalo didenger sama pacarmu yang namanya Widya yang galak itu bisa di sleding gue," balas Rian dengan pelototan yang tak main-main. 

"Udah putus kok mas dari lama. Gimana? mau yah dihalalin sama adek Rinov yang ganteng ini?"

"Tak jejelin mulutmu pake kaos kakinya bang Ihsan nek iseh ngomong halalin meneh!"

Dan Rinov makin tertawa lebar sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya, tanda damai. 

"Sarapan dulu Mas Rian, nggak usah dengerin omongan bocah edan satu itu," kata cowok manis berkumis tipis yang menenteng 2 piring nasi goreng, diikuti oleh cowok lain yang lebih tinggi dan berkulit putih yang juga menenteng 2 piring nasi goreng dari arah dapur.

Deuxieme Chance -FajRi-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang