Bagian 2 : Pertanda

2.7K 329 96
                                    


Rian menatap kagum gedung yang baru saja dimasukinya, tempat lamanya bekerja sama sekali tak ada apa-apanya. Masih dengan mulut menganga takjub, Rian mengedarkan pandangan berkeliling lobi dan tertegun melihat banyaknya orang yang berdiri dengan atribut sama dengannya. Dia Meringis dan sedikit kehilangan kepercayaan dirinya, saingannya sangat banyak ternyata. Terlebih lowongan yang dibuka memang tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya Ilmu Komunikasi, meskipun dalam pengumuman lowongan kerja yang dibuka memperbolehkan semua jurusan untuk mendaftarkan diri.

Pendaftaran dan pengecekan berkas serta tetek bengeknya sudah diselesaikan Rian dan Dia dinyatakan lulus administrasi pertama. Saat ini Dia sedang duduk di meja pengecekan administrasi lanjutan, cukup tegang karena pengantri di depannya hampir separuh dari yang lolos pada administrasi pertama tadi dinyatakan tak lolos di pengecekan kedua. Namun senyum langsung tersungging di bibir Rian saat wanita yang mengecek berkasnya berkata,

"Selamat ya kak, berkasnya oke. Bisa lanjut ke ruang tunggu interview buat nunggu giliran"

"Makasih, mbak." Dan dibalas pula dengan senyuman dan anggukan si wanita pengecek.

Rian tak berhenti tersenyum saat berjalan menuju pintu yang bertuliskan 'Ruang Tunggu Interview'. Memilih untuk duduk dibarisan keempat setelah menyerahkan berkas kepada petugas lainnya yang duduk di meja samping sebuah pintu bertuliskan 'Ruang Interview', masih dengan senyuman.

Namun senyuman itu seketika sirna saat melihat pria yang berdiri di depan meja tempatnya meletakkan berkas tadi. Pria yang amat dikenalnya di masa lalu, pria yang pernah menjanjikan keindahan padanya dahulu, lalu meninggalkannya hanya dengan kenangan yang tersisa.

"Teman-Teman pendaftar sekalian, perkenalkan Bapak Fajar Alfian CEO perusahaan kita yang akan menginterview kalian langsung hari ini," ucap salah seorang petugas yang tadi duduk di meja.

Dada Rian bergemuruh. Perutnya bergejolak dan kepalanya terasa berputar. Senyum itu masih sama, wajah itupun masih sama. Tanpa sadar, tatapan mereka bertemu dan membuat senyum di wajah sang pria sirna. Rian yang sadar pertama kali langsung mengalihkan pandangannya ke lantai. Kata-kata petugas yang tengah memperkenalkan pewawancara lain hari ini serta prosedur selama interview nanti tak lagi bisa terdengar oleh Rian karena kalah oleh suara debaran jantungnya yang bertalu.

Para pewawancara mulai masuk dan nama-nama yang akan diinterview mulai dipanggil oleh petugas. Rian yang merasa harus menenangkan diri sebelum siap berhadapan dengan 'Pria masa lalu'nya memutuskan untuk pergi ke toilet. Namun entah kesialan atau memang semesta tak mengijinkan, antrian toilet tampak menjalar lumayan panjang bahkan sampai keluar ruang toilet. Sepertinya banyak yang mengalami kegugupan sebelum interview.

Rian melihat beberapa orang pegawai yang tengah mengobrol, berniat menanyakan keberadaan toilet lain. Secara refleks Rian menarik tangan salah seorang Office Boy yang berjalan melewatinya.

"Maaf mas, ada toilet lain nggak ya yang nggak ngantri? Saya udah kebelet banget," ya, kebelet untuk segera menenangkan hatinya yang tak karuan.

"Eh, ada mas, tapi di lantai 1. Disana biasanya lebih sepi. Mas turun aja pake lift, dari situ belok kanan aja mentok nanti ada tandanya kok," jawab si OB berkacamata itu. Saat ini mereka memang berada di lantai 3.

"Makasih, mas".

Tak menunggu lama Rian langsung berjalan menuju lift dan mengikuti petunjuk yang diberikan si OB. Dan benar, toilet di lantai satu itu sepi, mungkin karena tak ada yang berkantor di lantai satu selain Resepsionist dan Security. Rian bersyukur dalam hati dan masuk ke salah satu bilik, duduk di atas kloset dan mendekap erat dadanya yang berdebar terlalu kencang. 

Deuxieme Chance -FajRi-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang