28. Tidak Akan Rela

29 1 0
                                        

Suara dari klakson mobil menyita perhatian Reina yang kini tengah sibuk dengan laptopnya. Dengan langkah gontai, ia segera berjalan membuka pintu.

Dan betapa terkejutnya ia saat melihat orang itu.

"Rendi?"

Dengan senyum yang merekah, Rendi membalas, "hai, udah lama nggak ketemu,"

Reina hanya diam saja dan segera membawa Rendi keluar dari teras rumahnya.

"Ngapain sih lo ke sini? Udah malam juga," ucap Reina seraya.

Rendi menghela napasnya.

"Gue dateng ke sini, mau ngajak elo makan malam. Bukannya Papa lo udah bilang?"

"Iya, dia udah bilang. Tapi gue nggak mau, gue udah kenyang. Jadi please deh, lo kalau mau makan, pergi aja sendiri. Nggak usah ngajak-ngajak gue,"

"Ada hal penting yang harus gue omongin ke lo, Rein,"

"Nggak ada lagi yang harus di omongin Ren. Semuanya udah jelas.

Baru saja Reina ingin pergi dari hadapan Rendi. Tapi Rendi mencekal tangannya.

"Please kali ini aja. Lo kan, sepupu gue. Setidaknya, terima ajakan gue."

Reina terdiam.

Setelah berpikir agak lama, akhirnya Reina menerima ajakan Rendi.

"Yaudah. Kalau bukan karena kita sepupuan, nggak bakal mau gue pergi makan sama lo."

Rendi menjawab hanya dengan senyuman saja. Kemudian Reina segera masuk ke dalam rumah untuk segera bersiap-siap.

****

"Gimana perasaan kamu sekarang? Apa udah nggak ada yang sakit?" Tanya Anggi.

"Nggak ada kok Ma. Aku baik-baik aja," kata Safira.

"Yasudah. Kalau gitu, kamu istirahat yang full hari ini. Dan satu lagi, Mama minta maaf ya. Karena gara-gara Mama, kamu jadi gini."

"Nggak pa-pa kok Ma. Mama nggak usah nyalahin diri Mama sendiri. Ini semua bukan karena Mama. Ini semua terjadi karena takdir."

Segelintir senyum terukir di wajah Anggi.

"Yaudah, kalau gitu Mama ke bawah dulu."

Safira mengangguk.

Setelah Anggi keluar dari kamar, Safira jadi teringat kembali dengan orang yang sudah berbaik hati mendonorkan darahnya.

Safira ingin bertanya lagi ke Mamanya. Tapi pasti jawaban yang diberikan tetap sama. Anggi tidak ingin memberitahukannya.

Baru saja Safira ingin merebahkan tubuhnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.

"Fira! Astaga, lo baik-baik aja kan?"

"Alhamdulillah gue baik-baik aja, San"

"Syukur deh, kalau gitu. Gimana caranya sih, lo bisa ke tabrak?" Tanya Santi.

"Pas gue mau nyebrang jalan, tiba-tiba ada mobil ngelaju kencang banget. Terus gue nggak sempet minggir, jadi ya, gitu deh. Berakhirnya di rumah sakit."

"Tadi Tante Anggi bilang kalau katanya lo kehilangan banyak darah?"

"Iya. Nah, ini yang jadi pertanyaan gue San. Di rumah sakit tadi, stok darah gue, habis. Kata nyokap, ada orang yang udah donorin darahnya. Terus gue tanya siapa, tapi nyokap nggak mau kasih tau."

"Kalau soal itu, gue nggak tau, Ra. Yang gue pikirin sekarang, orang yang nabrak elo. Kayaknya dia sengaja deh. Masa iya, dia nggak liat lo lagi nyebrang jalan? Kan aneh? Gue curiga, kalau orang yang nabrak lo itu, orang yang marah dan dendam ke lo."

"Jangan negative thingking, nggak baik."

"Ya kan, cuma menerka aja." Kata Santi.

"Oh iya, hubungan lo sama Aska gimana?" Tanya Santi.

Seketika raut wajah Safira jadi berubah.

"Nggak usah bahas dia lagi deh. Males gue. Yang ada, rasa sakit hati gue jadi kambuh lagi," ucap Safira.

"Emang ada masalah apa?" Tanya Santi.

"Santi, tadi gue udah bilang ke lo, kalau gue lagi males bahas dia. Udah ah, gue mau tidur, capek." Ucap Safira lalu mulai menutup kepalanya dengan selimut.

"Yaudah, kalau lo nggak mau bahas dia. Kalau gitu gue balik ya. Cepet sembuh."

Setelah Santi keluar dari kamarnya, Safira membuka selimut yang menutupi kepalanya.

"Ngapain sih, Santi bahas dia lagi? Bikin mood gue aja jadi down. " Ucap Safira seraya menggelengkan kepalanya.

****

"Tadi lo bilang, ada hal yang penting mau lo omongin. Hal penting apa?" Tanya Reina.

Kegiatan memotong daging steak Rendi, terhenti. Ia pun menatap Reina begitu serius.

"Ini tentang masalah hati," katanya.

"Lo masih nggak berhenti ngebahas itu? Rendi, dulu gue kan udah bilang, kalau gue nggak suka sama lo. Harus berapa kali sih, gue jelasin?"

"Tapi setidaknya lo nger--"

"Stop ngebahas itu Rendi. Lagi pula, gue udah punya tunangan. Udah jelas kan?"

"Lo udah punya tunangan?" Tanya Rendi memastikan.

"Iya. Dan itu pun, sama orang yang gue suka,"

"Kenapa lo nggak bilang ke gue? Setidaknya gue bisa liat, siapa calon tunangan lo"

"Ngapain gue harus bilang ke lo? Nggak penting amat."

"Lo jadi sepupu jahat banget sih?"

"Ya emang gue jahat kan?"

"Setidaknya lo bisa ngertiin perasaan gue Rein. Gue udah suka sama lo udah lama. Setidaknya lo hargain perasaan gue." Ucap Rendi.

Karena sudah merasa kesal, Reina membanting pisau dan garpunya ke piring. Hingga membuat para pengunjung restoran menatapnya.

"Udah berapa kali sih gue bilang? Gue nggak suka sama lo, Ren. Apa lo nggak ngerti juga? Dan gue itu udah punya tunangan. Seberapa keras pun lo berusaha buat ngeyakinin gue, itu nggak bakal mengubah jalan pikiran gue untuk bisa suka sama lo. Camkan itu," jelas Reina.

Reina pun mengambil tas selempangnya dengan perasaan kesal lalu pergi meninggalkan Rendi. Tak perduli dengan tatapan orang-orang yang ada di restoran. Intinya, Reina sudah menjelaskan semuanya.

"Sampai kapan pun Rein, gue nggak akan pernah rela, kalau lo nikah sama orang lain," batin Rendi.

****

~To be continued~

Follow ig

Warzuqnidila

SafirAskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang