"Pengumuman selanjutnya mengenai juara pertama Olimpiade Biologi tahun 2019 yang dilaksanakan di ibukota kemarin. Sekolah kita berhasil mempertahankan posisinya dengan menjadi juara olimpiade 3 kali berturut-turut. Untuk Revanza Athariz, silakan maju untuk menerima penghargaan."
Suara gerumuruh tepuk tangan peserta upacara mengikuti setelah kepala sekolah selesai berucap. Semua pandangan menatap seorang siswa yang saat ini menahan senyum puasnya. Dengan bangga, ia melangkahkan kakinya. Maju menghampiri kepala sekolah yang sudah siap menyambutnya di podium.
Sesampainya di sana, Revan langsung menyalami tangan Pak Gunadi selaku kepala sekolah. Pak Gunadi tampak mengelus-elus kepala Revan dengan bangga dan mengatakan sesuatu yang membuat senyum Revan bertambah lebar.
Setelah selesai menerima piala dan penghargaan, Revanza kembali ke barisan untuk mendengarkan pengumuman selanjutnya. Sebenarnya upacara telah selesai, tapi biasanya setiap kali runtutan acara upacara selesai, para siswa dimohon untuk tetap tinggal di lapangan dengan posisi duduk karena akan selalu ada pengumuman.
"Anjir, bonus lagi," celetuk seorang laki-laki yang duduk di sebelah Revan sambil menyenggol lengan Revan kuat, Juna.
"Van, bonus lo dipake buat jajanin kita sehari di kantin juga kagak bakal abis," sahut Sandi yang berada di belakang Revan.
"Diem lo, San. Lo juga menang olimpiade fisika, kan." Revan menimpali. Mengingat bahwa temannya juga menjadi salah satu pemenang di olimpiade yang dilaksanakan minggu kemarin.
"Iya sih tapi gue cuma juara dua, Van. Bonusnya kagak segede punya lo."
"Emang punya lo segede apa?" Alif, yang berada di samping Sandi langsung menerima toyoran di kepalanya.
"Apaansih? Kan gue cuma nanya." sewot Alif tidak terima dengan perlakuan Sandi.
"Pertanyaan lo ambigu. Bismillah dulu kek kalau mau nanya tuh."
"Bissmillahirrohmannirrohim. Pake amin kagak nih?"
"AH ELAH. Temen lo, Jun."
Juna dan Revan yang melihatnya hanya tertawa sebagai respon.
Setelah itu gemuruh telapak tangan kembali terdengar dan para murid terlihat berdiri dari duduknya. Tanda pengumuman telah selesai dan mereka diharuskan untuk kembali ke kelas mengikuti pelajaran.
Juna berdiri lebih dulu. Mengulurkan tangannya pada Revan yang tampak kesusahan untuk bangun. Maklum, saat ini laki-laki itu tengah memegang piala dan sebuah sertifikat atas penghargaan yang diberikan.
"Kantin dulu, yuk." Alif
"Pelajaran pertama Pak Deni, bego." Sandi
"Iya gue tau lo juara dua olimpiade fisika, tapi jangan ngatain gue bego dong, goblok. Mentang-mentang kerjaan gue di kelas tidur doang."
"Uuuuutukutuk cayang aku ngambek. Sini-sini." Kedua tangan Sandi terbuka lebar. Menarik dengan cepat Alif ke dalam pelukannya sebelum laki-laki itu berhasil kabur. Mengecup perlahan kepala Alif mesra lalu melepaskan pelukannya.
"Najis najis najis. Abis ini gue sampoan pake air tujuh kali dicampur tanah." Alif mengacak-acak rambutnya sendiri seolah-olah menghilangkan noda yang tertinggal di rambutnya.
"Pada mau ke kantin?" tanya Revan setelah tawanya selesai.
"Iya nih. Mau nganterin Alifbatasajimha," jawab Sandi lalu merangkul Alif lebih dekat.
"Yaudah dah sono lu bedua. Gue langsung ke kelas sama Revan," kata Juna pada akhirnya. Membuat Sandi mengangguk pelan dan langsung mengubah arah menuju kantin dengan mempertahankan posisi tangannya yang merangkul leher Alif erat. Oh tidak, bahkan saat ini ia terlihat sedang menyeretnya.
Revan tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. Setiap hari selalu ada saja tingkah mereka yang membuatnya berpikir bagaimana bisa ia berteman dengan makhluk seperti mereka.
Melihat bagaimana interaksi Sandi dan Alif membuat mereka terlihat timpang. Sandi yang pintar dalam bidang fisika, menjuarai kompetisi apapun yang berkaitan dengan fisika, dan Alif yang selalu tidur di kelas, mendapatkan teguran dari para guru karena tingkah konyolnya. Bahkan kadang mereka bertiga sampai harus ikutan bersikap konyol untuk menghadapi kesalahan tolol yang sering Alif buat.
Menurut Revan, Sandi itu udah pinter dari sononya. Kalau beberapa orang menjadi pintar karena rajin belajar dan membaca buku, Sandi bisa pintar tanpa belajar. Sandi jarang mengerjakan pr. Laki-laki itu akan mengerjakan prnya di sekolah, tepat 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Tapi pr yang ia kerjakan di sekolah pun hasil jerih payahnya sendiri, bukan mensontek milik orang lain. Sandi jarang belajar, nyaris tidak pernah. Walaupun Revan adalah murid pindahan dari Bandung saat kelas 11 semester dua, ia sudah sering menghabiskan waktu bersama dengan ketiga temannya itu. Bahkan saat ulangan pun Sandi sering mengajak mereka untuk bermain daripada belajar.
Sebenarnya Revan dari dulu sekolah di sini. Dari TK sampai SMP. Kemudian saat masuk SMA ia dan keluarganya pindah ke Bandung karena mengikuti pekerjaan Ayahnya. Dan kembali lagi ke sini saat kerjaan Ayahnya dipindahkan lagi. Ya, nomaden gitu.
Revan akui, juara satunya di olimpiade ini murni keberuntungan semata. Revan ditunjuk oleh guru biologi sekolahnya karena ia selalu mendapatkan nilai tertinggi tiap pelajaran Biologi. Menurut Revan, Revan nggak pinter pinter amat. Dia cuma rajin baca buku dan selalu pengen tau terhadap suatu ilmu. Itu aja. Kuncinya, rajin. Revan juga sering nggak ngerjain pr, nggak kayak Sandi, kalau ngerjain pr di sekolah Revan harus nyalin milik temannya karena kepepet dan nggak bisa mikir.
Saat tubuhnya sudah menaiki beberapa anak tangga, sebuah dorongan ia rasakan dari belakang. Sangat keras sampai membuat Juna pada akhirnya harus membantu Revan menahan bobotnya sendiri supaya tidak jatuh.
Kepala Revan terangkat dengan raut wajah kesal. Menatap seorang siswi yang saat ini berada di satu anak tangga di atasnya dengan raut wajah terkejut dan sebuah tas di punggungnya.
"So-sori, Van. Lo nggak apa-apa, kan?"
Mungkin perempuan itu sangat khawatir sampai membuat tangannya terulur untuk menyentuh lengan Revan. Tapi sebelum itu terjadi, Revan sudah menepisnya kasar.
Kali ini kening perempuan itu bertaut, sedikit kesal.
"Revan nggak apa-apa kok, Sya. Lo duluan aja." Juna mengambil alih. "Lo baru dateng?"
Kepala perempuan itu mengangguk cepat. "Iya. Kabur gue dari Bu Hasna sebelum dihukum. Eh, duluan ya, Jun. Bilangin sori sama Revan." Lalu menaiki anak tangga dengan cepat.
"Untung piala gue nggak jatoh. Gila kali ya tuh cewek. Siapa sih? Lo kenal? Perasaan gue nggak tau dia, tapi dia tau nama gue," kata Revan dengan nada setengah kesal.
Juna tertawa kecil. "Anak kelas kita, Van."
Jawaban dari Juna berhasil membuat Revan menatapnya bingung. "Yakin?"
"Iya. Duduknya di pojokan paling belakang. Sering bolos. Seminggu palingan masuk dua atau tiga kali."
"Dia?"
Juna mengangguk.
Pantas saja Revan tidak merasa sekelas dengannya. Ternyata memang cewek itu yang sering bolos. "Siapa namanya?"
Sebuah senyuman kecil terukir di wajah Juna sebelum menjawab pertanyaan Revan. "Risya. Risyafa Airen."
***
halooooooo *tebarbunga* akhirnya gue kambek huhu. selamat membaca cerita baru gue, yaaa. oiya, gue mau ngasih tau sebelum terlalu jauh, ini cerita awalnya lambatttt banget alurnya. macem pdkt sama doi gitu, nggak ada progresnya. karena di awal2 ini gue mau ngenalin karakter tokoh-tokohnya. cerita ini lumayan bisa ngisi waktu luang karena ceritanya nggak berat2 banget.
tinggalkan komentar supaya gue tau kalau kalian penasaran sama kelanjutan cerita ini! coba tebak, lead male di sini Juna atau Revan? yang bener...didoain agar supaya biar doinya peka :"
KAMU SEDANG MEMBACA
Inersia
JugendliteraturAwalnya tidak ada yang salah dengan Risyafa Airen. Seorang murid perempuan tingkat akhir di sekolah menengah atas. Eh, ada yang aneh satu hal. Perempuan ini hobi membolos. Sekolah udah seperti punya Ayahnya aja! Satu kejadian di kelas membuat Revan...