Enam belas

1K 154 32
                                    

Suara pintu yang ditutup menghentakkan Risya dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan yang dipandangnya saat ini adalah tubuh Ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Ah iya, Risya ingat kejadian semalam dan memutuskan untuk tinggal di sini menemani Haris. Ia juga sudah mengabari Gunadi dan Layla mengenai kondisi Haris. Mereka langsung datang tengah malam tadi dan pulang ke rumah beberapa jam kemudian.

Risya mencoba duduk dari tidurnya di sofa. Tangannya memegangi bagian belakang kepalanya yang terasa pegal.

Matanya mengitari ruangan. Menemukan Tiara baru saja masuk sambil menenteng sesuatu.

Sejak semalam mereka belum berbicara apa-apa lagi.

“Ayah udah siuman.”

Kalimat Tiara membuat Risya membulatkan matanya lebar.

“Tadi sekitar jam 11. Beliau sempet makan dan minum juga. Aku nggak ngebangunin kamu karena kamu keliatan capek banget.” Tiara menjelaskan tanpa diminta. Karena ekspresi Risya saat ini sudah meminta Tiara untuk menjelaskan semuanya. “Oiya, Tante Layla dateng. Beliau lagi ngurus masalah administrasi di lantai dasar.”

Risya hanya mengangguk sebagai respon.
Ayahnya sudah siuman. Itu tandanya kondisinya saat ini stabil dan baik-baik saja. Itu berarti sebentar lagi Ayahnya akan diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan Risya tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal lainnya.

Risya berdeham dan meringis detik berikutnya. Tenggorokannya terasa sakit dan kepalanya seolah ditusuk-tusuk disetiap titiknya.

“Kamu mau makan apa? Biar aku beliin.” Tiara berdiri dari duduknya untuk bergegas.

“Nggak usah.” Risya merutuki suaranya sendiri. “Aku beli sendiri. Kamu jagain Ayah aja.” Lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar.

Suasana koridor rumah sakit terbilang lumayan ramai. Tidak seperti semalam yang benar-benar sunyi. Risya yakin tangisannya semalam sangat keras dan mengisi lorong koridor rumah sakit ini. Banyak orang yang duduk di ruang tunggu depan kamar tersebut dan beberapa anak kecil berlari-larian diikuti suara omelan orangtuanya yang menyuruh mereka untuk diam.

Ramai karena saat ini merupakan jam besuk bagi siapapun yang ingin menjenguk saudara atau keluarganya yang dirawat di sini.

Risya berniat untuk membeli segelas teh hangat dan makanan berat atau camilan untuk mengisi perutnya yang kosong. Juga obat untuk meredakan sakit di kepalanya yang semakin menjalar.

Pintu lift terbuka. Membuat Risya ragu untuk masuk karena jumlah orang di dalam sana tampak sesak. Seorang ibu-ibu bergeser memberikan ruang untuk Risya seolah mempersilahkan perempuan itu untuk masuk, memperlihatkan bahwa masih ada sisa tempat untuknya.

Merasa bahwa lifnya belum overload, Risya melangkah masuk daripada harus menunggu untuk selanjutnya. Lagipula ia pegal berdiri lama-lama.

Di lantai 2 beberapa orang mulai turun. Meninggalkan 4 orang di dalam lift.

Di lantai 1, lift terbuka dan semua orang berjalan keluar. Risya yang berada di belakang—menyender—berjalan keluar paling akhir. Ketika semua orang sudah keluar, perempuan ini menegakkan posisi duduknya bersiap melangkah. Matanya ia arahkan ke depan dan langsung bertabrakan dengan pandangan seseorang yang berdiri di depan lift. Hanya berdiri terdiam menatap Risya dengan kerutan kening terkejut yang sama dengan Risya.
Membuat Risya yang melihat itu harus berpegangan pada sisi lift untuk menahan beban tubuhnya sendiri. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan ini bukan halusinasi karena kepalanya sakit.

Beberapa orang yang menunggu di depan lift mulai masuk. Tidak banyak. Hanya 2 orang.

Risya tidak ingin percaya dengan apa yang dilihatnya.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang