Revan tidak fokus menyetir.
Sering kali ia mencoba melihat keadaan di jok belakang dari spion kecil yang menggantung di atas kepalanya untuk melihat Risya dan Nadira.
Hari ini Revan membawa kendaraan sendiri ke sekolah. Risya meminta tolong Revan untuk mengantar Nadira sampai ke rumah karena kondisi Nadira saat ini tidak memungkinkan dirinya untuk naik angkutan umum.
“Gue takut,” jawab Nadira dengan suara bergetar dan wajah yang menunduk. Menutupi bagian dadanya padahal saat ini perempuan itu memakai jaket milik Revan. “Gue takut kalau mereka bakal lebih dari ini kalau gue cerita ke orang lain,” lanjutnya ketika Risya menanyakan kebenaran mengenai dirinya yang tidak memberontak saat mendapat perlakuan seperti itu.
Risya menyempilkan rambut Nadira yang menghalangi wajah ke belakang telinga. “Kenapa harus takut, sih?” tanyanya dengan suara lirih.
“Nggak ada yang percaya sama gue, Sya. Semenjak kejadian itu. Orang-orang bakal tetep nyalahin gue dan memaklumkan kejadian ini kalau seandainya gue speak up.”
“Dir,” Risya mengelus-elus punggung tangan Nadira. “Lo harus marah, lo harus bertindak ketika ada orang yang memperlakukan lo bejat kayak gini. Bahkan lo boleh nuntut mereka kalau lo mau."
“Gue…gue takut.”
Risya paham. Bicara seperti apapun pada saat seperti ini tidak aka nada gunanya. Semua sudah terjadi dan kondisi Nadira saat ini pasti tertekan dan berada di titik yang serba salah.
Yang bisa dilakukan Risya saat ini hanya mengelus punggung tangan Nadira. Mencoba memberikan kekuatan lewat sentuhan itu. Mencoba memberikan pengertian bahwa ia tidak berdiri sendirian.
“Sekarang lo nggak boleh takut, oke? Kalau besok-besok mereka kayak gitu lagi ke lo, atau siapa pun yang bertindak brengsek kayak gitu ke lo, lo harus berani. Tubuh lo itu orientasi lo, Dir. Nggak boleh ada yang nyentuh selain izin dari lo. Lo itu berharga, Nadira, sangat.”
Wajah yang merunduk itu perlahan terangkat. Menatap Risya sendu.
“Lo boleh cerita ke gue kalau lo mau. Lo boleh dateng ke gue kalau lo ngerasa nggak ada yang mau dengerin lo. Lo boleh dateng ke gue bahkan ketika lo ngerasa dunia nolak lo.” Mendengar lanjutan dari Risya, membuat Nadira harus mengigit bibir bawahnya supaya tidak menjerit saat itu juga.
“Karena gue akan seberusaha mungkin buat dengerin keluh kesah lo. Kita bukan teman yang deket emang. Tapi mulai sekarang, kita bisa jadi teman yang baik, kan?”
“Risya…” ujar Nadira dengan suara yang bergetar. Kata-kata Risya, kalimat dan nada suara Risya berhasil menyentuh hati nurani Nadira, menggetarkan perasaannya sehingga ia tidak mampu lagi untuk membendung airmatanya. Karena saat ini, baru kali ini ada seseorang yang menganggapnya berharga.
Risya menarik Nadira ke dalam peluknya. Mengelus bahu perempuan itu dengan lembut. “Jangan pernah ngerasa sendirian, Dir. Gue tau rasanya….gue tau…” Matanya terpejam, wajahnya meringis mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.
“Itu bukan gue,” kata Nadira tiba-tiba.
“Hm?” Risya perlahan melepaskan peluk.
“Foto dan video yang kesebar di grup angkatan. Itu bukan gue.”
Revan bahkan harus menurunkan kecepatan mobilnya dan memasang telinga kuat-kuat karena ia sendiri penasaran dengan apa yang baru saja ia dengar.
Risya diam. Menunggu Nadira melanjutkan.
“Itu Nadia. Sodara kembar gue. Kita bener-bener mirip. Sekitar dua tahun lalu, dia donorin ginjalnya buat gue karena ginjal gue bermasalah. Iya, she's lesbian. Dia…”
KAMU SEDANG MEMBACA
Inersia
Genç KurguAwalnya tidak ada yang salah dengan Risyafa Airen. Seorang murid perempuan tingkat akhir di sekolah menengah atas. Eh, ada yang aneh satu hal. Perempuan ini hobi membolos. Sekolah udah seperti punya Ayahnya aja! Satu kejadian di kelas membuat Revan...