Dua belas

1.1K 164 47
                                    

"Radit sialan. Masa gue harus megangin ini mulu sampe balik sih." Risya menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dengan satu kancing seragam atas yang terlepas. Kedua tangannya mencoba mengancingkan kancing yang letaknya paling atas. "Kalau gini gue malah kecekek. Tapi kalau nggak dikancing tar orang-orang pada liatin dada gue." Lalu melepas kaitan kancing paling atas tersebut.

Risya berdiri tegak. Bergerak menghadap kanan dan kiri lalu terdiam. "Biarin deh. Kalau gue nggak gradakan, seragamnya nggak bakal kebuka."

Kakinya melangkah keluar toilet untuk segera menuju kelasnya karena bel tanda istirahat habis sudah berdering sejak sepuluh menit yang lalu.

"Loh, mau balik, Van?" Langkahnya terhenti melihat Revan yang datang dari lawan arah dengan tas yang digendongnya.

"Gue mau ke perpus. Evaluasi soal sama Bu Nia."

"Mau lomba lagi?"

Kedua bahu Revan terangkat. "Kayaknya."

"Okay. Gue ke kelas dulu."

Langkahnya langsung terhenti ketika ia melewati Revan karena laki-laki itu menahan bahunya.

"Penitiin tuh," kata Revan dengan lirikan yang mengarah pada seragam bagian atasnya.

Reflek sebelah tangan Risya terangkat untuk menutupi. "Nggak punya. Lagian nggak bakal kebuka kalau gue diem."

"Lo jalan dua langkah barusan aja udah kebuka, Sya."

Kali ini Risya menaruh kedua tangannya di dada. "Lo liat?" Wajahnya memerah

"Enggak." Revan melepas sebelah tali tasnya untuk tas tersebut ia kedepankan. Membuka resleting tas paling depan.

"Warna apa?"

"Krem."

Mata Risya membulat dan ia bisa merasakan wajahnya memanas nyaris di setiap bagian titiknya.

Menyadari kecanggungan yang terjadi, Revan melanjutkan, "m-maksudnya tembok sekolah kita warna krem. Bagus, kan?"

Risya mendengus kesal mendengarnya.

Sebelah tangan Revan terulur untuk memberikan benda kecil berwarna perak. "Nih."

Yang langsung diterima oleh Risya. Perempuan itu tersenyum kecil. "Lo nyimpen peniti di tas sekolah?"

Kepalanya mengangguk. "Buat nusukin Alif sama Sandi kalau iseng mereka kelewatan."

Tawa renyah keluar dari mulut Risya.

Revan membalasnya dengan senyuman. Ia belum beranjak dari posisinya karena saat ini Revan tengah memerhatikan Risya yang kesulitan mengaitkan penitinya di seragamnya itu. Kepalanya menunduk sampai dagunya menyentuh bagian lehernya. Bibirnya yang dikulum kesusahan membiat Revan yang melihatnya geli.

"Bisa nggak?"

"Ngg....bi...bisa bisa...kayaknya."

"Revan!"

Keduanya menoleh. Melihat Sandi yang berada di tikungan koridor. "Buru. Ditungguin Bu Nia. Udah mau meledak nih doi."

Oh iya, Sandi juga pasti ditunjuk oleh guru untuk mewakili sekolahnya di bidang fisika.

Revan tidak menyahut. Kepalanya menoleh ke Risya yang saat ini sibuk dengan penitinya. "Bisa?"

"Tar gue minta tolong Kinan aja buat ngaitin. Makasih ya. "

=/=

"Mau langsung balik, Sya?" Juna yang tengah membenahi buku miliknya langsung berdiri dari duduknya. Bertanya dengan suara yang cukup keras ketika Risya lewat di depan barisannya.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang