Enam

998 161 27
                                    

Sudah lebih dari lima belas menit Revan berdiri di ujung koridor yang menghadap ke gerbang sekolah. Berkali-kali mengangkat kepalanya untuk melihat langit seolah mencari tahu kapan rintikan hujan ini akan berhenti atau setidaknya tidak terlalu deras supaya ia bisa menerobos dan menghampiri sebuah mobil yang sudah menunggunya di pinggir jalan.

Supir Revan sudah mengabari bahwa mobilnya sudah menunggu di pinggir jalan. Keadaan sekolahnya yang masuk ke gang kecil membuat mobil tidak bisa masuk. Hanya kendaraan bermotor saja. Sedangkan untuk para guru yang membawa mobil, ada parkiran khusus di pinggir jalan yang memang tersedia untuk para guru. 

Dan tadi Pak Yadi—supirnya bilang bahwa beliau lupa membawa payung.
Sekolah sudah mulai sepi. Murid-murid yang membawa motor tentu saja sudah pulang bermodalkan jas hujan di jok motornya. Sedangkan murid lain yang tidak sabaran terpaksa menerobos derasnya hujan, termasuk Sandi dan Alif. Sedangkan Juna sudah pulang daritadi dengan bermodalkan payung untuk menuju motornya yang terparkir. Ah, Revan jadi menyesal tidak menebeng payung dengannya tadi.

Jangan harap Revan akan menerobos hujan. Ia tidak mau mengambil resiko buku-bukunya yang berada di dalam tas menjadi basah.

“Nggak bawa payung?” Pertanyaan tiba-tiba dari sebelahnya membuat Revan terkejut. Revan menoleh dan mendapati Risya yang tengah menatap ke gerbang sekolah.

Revan merespon dengan diam. Jika Revan membawa payung, sudah pasti ia tidak berdiri di sini.

“Sekolah udah mulai sepi,” lanjutnya tanpa Revan tahu apa maksud perkataannya. Ia tidak mengerti kenapa Risya masih di sini padahal saat bel pulang sekolah berbunyi, perempuan itu langsung nyelonong keluar kelas.

“Lo tau nggak sih dulu katanya sekolah ini bekas kuburan.” Tepat saat ucapan Risya berakhir, sebuah petir menyahut di atas sana. Membuat Revan terperanjat sekaligus berpikir gimana bisa pas gitu.

“Apaan sih lo?”

“Terus kalau udah mulai sepi gini, arwah-arwah pada keluar minta tolong untuk dibebasin dengan cara ngegangguin murid-murid yang masih ada di sekolah.”

Revan terdiam, tidak menanggapi. Saat jam sebelum olahraga tadi, Risya yang Revan lihat tidak seperti ini, ketus dan terkesan galak.

“Kabarnya di toilet cowok pernah ada yang lihat hantu yang lehernya sampe atap.”

“Sya.”

“Dan di perpustakaan ada seorang cewek rambut panjang dengan kepala hancur sebelah.”

“Risya.”

Risya terkikik geli melihat respon Revan yang menandakan dirinya untuk berhenti menceritakan mengenai hal itu. “Takut lo, ya?”

Revan mendengus. “Omongan lo nggak masuk akal.”

Di sampingnya, Risya masih tertawa sampai kemudian tawa itu habis, perempuan itu memilih diam. Revan melirik sekilas dan mendapati bahwa tangan kiri perempuan itu menggenggam payung berwarna hijau army. Lalu, apa yang dilakukan Risya di sini jika ia bisa menerobos hujan dengan payungnya.

“Maaf ya, Van.” Kata Risya tiba-tiba dengan kepala menoleh. “Kalau omongan gue kasar pas di kelas tadi.”

Revan tidak menjawab. Melempar pandangannya pada gerbang sekolah dan tanah yang sudah sangat becek dan ada genangan di sana.

“Kinan temen gue. Gue deket sama dia, banget.” Risya mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “dan gue pikir lo bakal ngelakuin hal yang sama, kalau misalkan gue ngaduin Alif ke Bu Nia.”

Kepala Revan menoleh karena ia penasaran dengan raut wajah Risya saat ini. Perempuan itu masih menatapnya, tatapannya teduh dengan bulumata lentik natural yang menghiasi area matanya. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Rambut panjang perempuan itu dibiarkan tergerai, jatuh menjuntai ke bawah dengan beberapa helai rambut menutupi wajahnya karena angin saat ini berhembus dengan kencang.

“Gue juga minta maaf,” kata Revan pada akhirnya. “Gue cuma pengen dia ngerasain akibat dari tindakan yang dia ambil. Tapi kayaknya gue berlebihan. Ya, kayak yang lo bilang, gue egois.”

“Kalau gue minta lo untuk minta maaf ke Kinan, lo mau nggak?”

Revan belum menjawab. Memilih diam dan mengutuk dirinya sendiri mengapa ia baru sadar bahwa seorang Risyafa Airen yang berdiri di sampingnya begitu menarik di matanya.

“Ah, pasti lo nggak mau.” Karena Revan tidak menjawab, Risya mengambil kesimpulan sendiri.

“Ya nggak apa-apa sih. Toh, gue juga nggak ngasih tau tentang lo ke Kinan,” sambungnya sambil membenarkan tali tasnya yang merosot. Seolah teringat sesuatu Risya melanjutkan, “Eh! Jangan-jangan. Iya, jangan minta maaf ke Kinan. Belum tau aja kan lo Kinan kalau ngamuk gimana. Uuuhhh!Nama binatang yang tampil di natgeo keluar semua. Dan jangan harap, badan lo bisa lepas dari pukulan Kinan. Pokoknya kalau besok-besok lo rese lagi dan bikin gue gondok, gue bakal jadiin hal ini senjata.” Lalu Risya tertawa seolah bayangan bagaimana Kinan melakukan hal itu terbayang di otaknya. Membuat Revan tanpa sadar tersenyum ketika melihat garis tawa indah milik Risya.

Setelah tawanya selesai, Risya mengambil napas dalam-dalam. Ia menatap Revan sejenak lalu mengambil tangan Revan, menaruh payung miliknya pada genggaman tersebut. “Pake, nih. Kalau lo nunggu ni ujan berenti, sampe isya yang ada. Dan gue yakin lo nggak mau digangguin sama hantu yang lehernya sampe atap.”

Risya merapihkan rambutnya. Menjadikannya satu dan sedikit membawa ikatan tersebut ke bagian tengah belakang kepalanya. Menjadikan kumpulan rambut itu menjadi satu dengan ikat rambut warna hitam yang daritadi melingkar di pergelangan tangannya.

Hal itu membuat leher jenjang putih Risya terekspos dengan jelas. Membuat Revan buru-buru mengalihkan pandangan dan meneguk salivanya sendiri.

“Gue duluan, ya,” katanya sambil melepas tas miliknya lalu ditaruhnya di atas kepala seolah melindungi kepalanya dari rintikan air hujan. “Dah, Revan!” Lalu berlarian keluar sekolah menerobos hujan.

Revan masih terdiam di tempat. Menatap payung hijau army di tangannya dengan sebuah senyum tipis di bibirnya.

=/=

Keesokan harinya Revan berniat mengembalikan payung hijau army itu ke si pemiliknya. Sesampainya Revan di kelas, ia tidak menemukan Risya. Ah mungkin telat, pikir Revan. Bukan apa-apa, tapi Revan merasa sangat berterima kasih pada Risya yang mau meminjamkan payungnya dengan sukarela sementara dirinya menerobos hujan. Risya juga membuat Revan tidak bertemu dengan hantu yang lehernya sampai atap.

Tapi sampai jam pelajaran berakhir, Revan tidak melihat Risya.

Keesokan harinya tetap seperti itu.

Dan berulang sampai dua hari kemudian.

***

hm sepertinya ada yg mulai merasakan benih benih cinta

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang