Lima

1K 172 16
                                    

Revan tidak menyangka bahwa kalimat dari seorang Risyafa Airen membuatnya terdiam berpikir.

Apa yang Revan lakukan itu sudah benar. Memberitahu kepada guru bahwa ada satu murid yang melanggar peraturan dan merugikan orang lain. Siapapun yang melanggar peraturan harus dihukum, harus menerima akibat dari apa yang telah diperbuat. Tindakan Kinan tentu merugikan orang lain, disaat ia susah payah menghapal yang Kinan lakukan dengan mudahnya mensontek tanpa ada usaha.

Revan tidak suka.

Revan tahu ada banyak teman-temannya di kelas yang mensontek. Entah itu membawa ponsel, menaruh buku catatan di pangkuan dan sebagainya. Revan ingin mengadukan mereka semua, ingin memberikan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Tapi sepertinya tidak mungkin. Maka untuk sekarang, Revan akan perlahan-lahan memberikan murid tersebut pelajaran, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Perlahan tapi pasti semua murid akan merasakan akibatnya.

Revan tidak mengerti mengapa semua perkataan yang diucapkan Risya benar adanya. Revan tidak mengelak, maka dari itu akhir pembicaraan mereka Revan memilih diam karena berpikir apakah dirinya sama seperti apa yang Risya bicarakan.

Egois? Mungkin saja.

Tapi Revan hanya ingin memberi mereka pelajaran. Apa itu salah besar?

“Hei…hei…” Suara Alif menarik perhatiannya. Tampak semua temannya menoleh pada seorang laki-laki yang saat ini terlihat tengah menahan senyumnya.

“Hei sayangkuuuuu...” lanjut Alif bernada lagu Syantik dan mendapat pukulan keras di kepalanya oleh Juna juga Sandi.

“Apaan sih lo, goblok.”

Alif masih tertawa. “Gue ngeledekin si Revan. Bengong mulu dia kayak meratapi kehidupan. Mikirin utang ya lo?”

Revan mendengus. “Ya kagaklah, bego. Ngaco lo.”

“Eh, seragam olahraga gue mana anjir.” Sandi bertanya dengan kedua tangan sibuk mengubek-ubek isi tasnya. “Mana, Lip. Balikin gak lo?”

“Gustiiiii, salah mulu aim,” jawabnya sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. “Lo nggak liat daritadi gue maen hape mulu, hah? Tanya noh Juna.”

“Apaansih ni keset nyalah-nyalahin gue.”

“Balikin, Lip.”

“Kagak di gue masya allah…. Ngapain juga sih nyimpen kaos olahraga lo? Bau asep neraka gitu.”

Dengan cepat Sandi mengeluarkan semua isi tas Alif di atas meja. Hanya ada dua buku tulis dan satu pulpen yang tidak ada tutupnya. Serta satu celana olahraga dan dua kaos olahraga.

“Ini ada dua, monyet.” Lalu mengambil satu kaos olahraga untuk dicium baunya. “Nah, ini punya gue.” Dan memasukannya ke tas milik Sandi.

“Lah? Bisa di gue gitu. Kemasukan kali sama gue tadi pas ngelipet.”

“Halah alibi aja lo gedein! Jangan-jangan, kamu ambil kaos aku buat disantet ya? Alip….selama ini, kamu…kamu…” kata Sandi dengan nada takut yang dibuat-buat lalu kedua tangan menyilang menutupi dada dan memandang Alif dengan sorot mata tidak percaya.

“Najis najis najis, dasar babi.”

Sandi memiting leher Alif untuk diacak-acak rambutnya dan mereka semua tertawa.

Revan hanya merespon tindakan mereka dengan tertawa. Matanya ia alihkan keluar jendela dan dengan jelas menangkap rintikan air hujan yang semakin deras turunnya. Disertai beberapa kilatan cahaya yang disusul dengan bunyi petir menggelegar di luar sana. Guru bahasa Indonesia pun absen mengajar karena anak beliau sakit. Beliau sama sekali tidak meninggalkan tugas yang akan dikerjakan. Jadi selama dua jam pelajaran terakhir sebelum pulang, kelas mereka bebas.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang