“Baru pulang, Pa?” tanya Risya sambil menggosokan handuknya ke rambutnya yang basah akibat keramas. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, berniat naik ke kamarnya yang di lantai atas, lalu menemukan Papanya memasuki rumah.
“Iya.” Gunadi menjawab dan melangkah menuju dapur.
Risya mengikuti. Menarik salah satu kursi meja makan. Mengambil salah satu kue lapis dan memakannya perlahan.
“Malem banget?” Risya bertanya lagi. Gunadi menarik kursi di sebelah Risya. Melonggarkan ikatan dasinya lalu ikut memakan kue yang ada di atas meja.
“Tadi diundang makan malam sama Pak Rian. Papanya Nadira, kamu kenal?”
Mendengar nama Nadira membuat gerakan mengunyah Risya terhenti. “Kenal, Pa. Ngomongin apa sama Papanya Nadira?”
Kedua bahu Gunadi terangkat. “Biasa. Bisnis.”
Risya jadi teringat mengenai kejadian Ayah Nadira datang ke sekolah lalu bicara dengan Gunadi di ruang kepsek. Apakah Papa Nadira menceritakan semuanya dan sebenarnya pada Papanya? Sehingga Papanya menerima Nadira kembali di sekolah.
“Alasan Papa ngizinin Nadira sekolah apa, Pa?”
Gunadi yang sedang mengecek ponselnya, menoleh. “Maksud kamu?”
Risya berdeham. “Papa tau kan masalah Nadira waktu kelas 11?”
Gunadi mengangguk.
“Kenapa Papa nggak keluarin Nadira?”
Mendengar pertanyaan seperti itu membuat Gunadi tersenyum.
“Papa yakin kamu pasti tau kalau itu bukan Nadira.”
Mata Risya mengerjap beberapa kali. Dari mana Gunadi tahu?
Tubuh Gunadi tampak berubah posisi. Menyamping menghadap Risya.
“Pak Rian dateng ke sekolah. Ngomong sama Papa. Kalau di foto dan video itu beneran Nadira, beliau nggak bakal dateng ke sekolah. Beliau bakal langsung terima surat pernyataan kalau Nadira dikeluarkan dari sekolah.”
Gunadi menarik napas sebelum melanjutkan. “Awalnya Papa kaget. Beneran. Nggak nyangka juga murid Papa ada yang kayak gitu. Tapi kemudian Papanya dateng. Dateng loh ke ruangan Papa, ngomong sama Papa dan disitu juga ada Nadira. Beliau memperlakukan Nadira dengan baik—sangat baik. Dan bikin Papa mikir, gimana bisa beliau bersikap baik sama anak yang udah bikin masalah seperti itu?”
“Kemudian Pak Rian mulai cerita. Papa mendengarkan. Nadira waktu itu cuman diam. Tapi dia bakal jawab kalau ditanya. Pak Rian sering banget ngelus-ngelus Nadira seolah bilang kalau Nadira kuat. Dan respon Nadira cuma ngangguk sambil senyum. Setelah denger penjelasan Pak Rian dan kesukarelaan Nadira, malah bikin Papa bangga sama Nadira.”
Ternyata Gunadi lebih dulu tau mengenai masalah Nadira dibandingkan dirinya.
“Tapi Papa tau kalau Nadira ditatapin sinis sama anak-anak di sekolah? Terlebih lagi, hari ini hari pertama dia masuk sekolah.”
Gunadi mengangguk. “Papa bahkan udah nawarin Nadira untuk keluar dari sekolah seandainya dia malu atau takut dipandang jelek. Tapi Nadira nggak mau. Dia bilang, dia mau sekolah disitu dan nggak mau repotin Papanya."
Mendengar penjelasan Gunadi membuat Risya meringis mengingat bagaimana perlakuan anak di sekolah terhadapnya. Terlebih saat insiden di toilet sekolah tadi sore.
“Nadira anak baik ya, Pa?” Tapi kenapa diperlakukan seperti itu?
Gunadi tersenyum. Membelai pelan rambut hitam anak tersayangnya. “Semua anak, semua orang itu baik, Risya sayang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Inersia
Teen FictionAwalnya tidak ada yang salah dengan Risyafa Airen. Seorang murid perempuan tingkat akhir di sekolah menengah atas. Eh, ada yang aneh satu hal. Perempuan ini hobi membolos. Sekolah udah seperti punya Ayahnya aja! Satu kejadian di kelas membuat Revan...