Dua puluh satu

1K 142 29
                                    

“Masuk dulu yuk, Van.” kata Risya saat mereka berada di depan rumah Risya. “Tadi pagi Papa nanyain lo.”

“Serius?” Revan melepas helmet yang digunakannya. Kepalanya menoleh untuk melihat ke rumah Risya, pintu depannya terbuka. “Nanyain gimana?” Revan bertanya karena mungkin Papa Risya menanyakan hal yang buruk mengenai dirinya.

“Nanya lo anak kelas mana terus namanya siapa. Papa juga bilang makasih untuk yang kemarin malem dan kalau ada waktu, lo disuruh mampir.”

“Ada waktu, kok.” Revan turun dari motornya. “Yuk.” Menggamit tangan Risya erat dan melangkah bersama memasuki rumah Risya.

Risya tersenyum geli melihat tingkah laku Revan.

Pintu rumahnya terbuka lebar dan tidak biasanya seperti ini. Apabila terbuka begini biasanya rumahnya kedatangan tamu. Baik itu teman Mamanya atau Papanya.

Saat kakinya melangkah memasuki ruang tamu, ia bisa melihat kedua orangtuanya duduk bersebelahan. Berhadapan dengan seorang laki-laki yang saat ini tengah berbicara dan tersenyum lebar.

“Risya pu…”

Risya tidak melanjutkan kalimatnya ketika matanya dengan jelas mengenali laki-laki itu.

Itu Dimas.

Sedang mengobrol dengan kedua orangtuanya dengan senyuman lebar.

Gunadi berdiri dari duduknya. “Sini, Nak. Duduk sini. Kita kedatengan tamu.” Lalu matanya bergulir menatap Revan yang berdiri di sebelah Risya. “Revan, ya? Yang kemarin nganterin Risya?”

Suasana ini sangat canggung.

Revan masih berpikir bagaimana bisa kedua orangtuanya membukakan pintu rumah dan menyambut Dimas dengan baik? Menyambut orang yang menghancurkan hidup anaknya?

“Oh? I-iya, Pak Gun.” Revan memanggil Gunadi dengan sebutan yang biasanya para murid berikan untuk kepala sekolahnya.

“Canggung banget. Sini duduk. Kita ngobrol bareng.” Gunadi tertawa kecil di akhir kalimatnya.

Dimas berdiri dari duduknya, ia berdeham. “Keperluan saya di sini udah selesai, Tante, Om. Saya pulang dulu, ya.”

Kening Risya berkerut kesal.

Apa tadi katanya? Om? Tante?

“Keperluan apa yang bikin lo berani untuk dateng ke rumah ini?” tanya Risya untuk Dimas dengan nada setengah mati ia tahan supaya tidak membentak. Karena ia tidak mau mengeluarkan nada tingginya saat pertama kali bicara pada Dimas untuk mengeluarkan kekesalannya. Jika ia melakukan itu, sudah pasti Risya akan kalah karena menunjukan emosinya di awal.

Dan bagaimana bisa Dimas datang ke rumah ini tanpa sedikitpun rasa bersalah dan malu yang terpampang di wajahnya?

“Risya.” Gunadi menginterupsi pelan perkataan anak bungsunya yang kasar.

“Kenapa Papa sama Mama nerima tamu macem dia? Papa Mama tau nggak sih…”

“Papa tau.” Gunadi memotong ucapan anaknya seolah mengetahui lanjutan kalimat Risya. “Papa sama Mama tau. Justru karena kami tau, kita nerima dia sebagai tamu.”

“Nggak masuk akal.”

“Risya, dia cuma mau minta maaf.” Mamanya akhirnya buka suara.

Dimas datang sekitar setengah jam yang lalu, awalnya Layla tidak menerima kedatangan Dimas dan menyuruh Gunadi untuk menolaknya dan menyuruhnya pulang. Tapi Gunadi tentu tidak akan melakukan itu, ia yakin kedatangan Dimas kesini dengan maksud tertentu dan Gunadi akan mendengarkannya.
Dimas meminta maaf atas kesalahannya, atas kekhilafannya yang merugikan banyak pihak.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang