Saat ini Revan lupa bagaimana menurunkan kecepatan motornya yang melaju kencang membelah jalanan. Revan tidak peduli klaksonan kencang dan makian pengguna jalan yang lain saling bersahutan ketika melihatnya ugal-ugalan. Berkali-kali Revan menerobos lampu merah, dan berkali-kali juga Revan nyaris ingin menabrak seseorang di depannya.
Tujuannya saat ini hanya satu. Ke rumah Juna. Bertemu dengan laki-laki itu dan membicarakan sesuatu padanya.
Sekarang Revan tahu alasan Risya menghindari Juna walaupun Risya tidak ingin. Revan tahu mengapa Risya meminta pendapatnya mengenai bunuh diri saat mereka makan mie ayam waktu itu. Revan tahu mengapa Risya memberikan Dimas tatapan kebencian saat mereka bertemu tadi.
Risya langsung pergi ketika Revan mengenalkan Dimas padanya. Perempuan itu mengatakan bahwa ia tiba-tiba saja teringat tentang suatu janji yang dibuatnya dengan seseorang dan mengharuskannya pergi dari situ saat itu juga. Risya menolak untuk diantar. Suaranya bergetar dengan kedua mata berair, tubuhnya gugup dan sebisa mungkin menghindari tatapan Dimas yang berada di dekatnya.
Saat mengantar Galih ke rumahnya, Revan tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Risya menunjukan rasa takut, tapi juga amarah yang terpendam dalam suara dan tatapannya yang pilu. Dengan segera ia pamit dan langsung menghubungi Sandi untuk meminta penjelasan ini, karena Revan yakin bahwa Sandi mengetahui sesuatu mengenai hal ini. Pembicaraan mereka menyangkut Risya waktu itu belum semuanya.
Hal itu sangat menganggunya, tentu saja. Selama ini Revan diam dan tidak berani bertanya atau mencari tahu lebih banyak mengenai masalah yang menimpa Risya karena Revan tahu Risya akan merasa tidak nyaman. Tapi kali ini Revan tidak bisa diam saja. Melihat Risya ketakutan seperti itu membuatnya tidak tenang dan Revan akan melawan siapa saja yang membuat Risya memberikan ekspresi yang membuat Revan khawatir.
“Buru-buru banget, Van? Segitu kangennya lo sama gue?” kata Sandi saat ia membuka pintu rumah untuk menyambut Revan sambil tertawa kecil.
“Ceritain tentang Risya.” Revan mengekor langkah kaki Sandi ke dalam rumah.
Sandi menolehkan kepalanya dengan kening berkerut. “Lo kesambet apa deh? Nggak biasanya.”
“Juna, Risya, Dimas.” Langkah kaki Sandi langsung berhenti saat itu juga. Membuat Revan berjalan duluan dan berdiri di depannya.
Sandi tidak langsung menjawab. Raut wajahnya tampak ragu lalu berkata, “duduk dulu. Gue bikinin minum.”
“San.”
“Oke-oke. Duduk.”
Mereka duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Revan tidak mengatakan apa-apa dan hanya diam menunggu Sandi mengeluarkan kalimatnya. Revan tahu mungkin kedatangan dan perkataan yang diucapkannya terdengar konyol dan sangat tiba-tiba. Tapi Revan tidak punya pilihan lain selain bertanya pada Sandi.
Eluhan napas panjang dikeluarkan oleh Sandi. Tubuhnya bersandar pada punggung sofa yang empuk. “Gue nggak tau mau mulai darimana.”
“Nggak masalah. Gue bakal nunggu.”
“Risya pasti ketemu Dimas dan ada lo di sana. Ekspresinya yang menurut lo aneh bawa lo kesini, kan?”
Revan mengangguk. Biar cepat.
“Gue pengen tau alesan Dimas dipenjara.”
Revan mengernyitkan keningnya. “Gue yakin lo udah tau.”
“Jawab aja, Van.”
“Nabrak orang. Gara-gara mabok. Korban nuntut Dimas dan minta ganti rugi segala macem.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Inersia
Teen FictionAwalnya tidak ada yang salah dengan Risyafa Airen. Seorang murid perempuan tingkat akhir di sekolah menengah atas. Eh, ada yang aneh satu hal. Perempuan ini hobi membolos. Sekolah udah seperti punya Ayahnya aja! Satu kejadian di kelas membuat Revan...