Dua puluh dua (end)

991 123 4
                                    

“Katanya lusa kemarin lo ke rumah Gadis?” tanya Galih tanpa basa-basi saat Dimas memasuki kamarnya untuk menjenguknya sekaligus mengajaknya main.

“Tau darimana lo?” Dimas balik bertanya. Duduk di karpet dekat kasur Galih untuk mengambil stik ps di sana.

“Radit.”

“Lemes juga tuh bocah mulutnya.” Dimas mencibir kelakuan sepupunya itu. Perihal ia akan mengunjungi rumah Gadis, hanya Radit yang tau karena Dimas tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Termasuk adiknya sendiri, Juna.

“Ngapain lo ke rumah Gadis?” Galih membuka lemarinya dan mengambil kemeja dari dalam sana.

“Minta maaf.”

“Basi.”

Dimas meringis mendengarnya. Benar sekali yang dikatakan Galih. “Basi” dan Dimas bukan tipikal orang yang seperti itu. Menurutnya kejadian 5 bulan lalu itu bukan murni kesalahannya. Ia hanya melakukan hal yang dilakukan kebanyakan orang berpacaran. Kehendak Gadis bunuh diri adalah keputusannya sendiri. Masalah mengapa Dimas tidak ingin tanggung jawab karena itu bukan sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan besar seperti menikah. Maksud Dimas, umurnya bahkan masih muda dan ia tidak mau menghabiskan waktu mudanya dengan menikah dan menjadi kepala keluarga yang harus menafkahi keluarganya. Ia masih ingin menghabisi masa mudanya dengan bebas. Lagipula waktu itu belum diketahui bahwa apakah Gadis hamil atau tidak karena Dimas menggunakan pengaman.

Saat pertama dirinya sampai di rumah Gadis, Layla tidak menerimanya dan menolak Dimas untuk segera pergi dari rumahnya. Tapi kemudian seorang laki-laki yang tidak Dimas kenal datang dan menenangkan Layla lalu menyuruh Dimas masuk untuk menjelaskan maksud kedatangannya, yang kemudian Dimas pahami bahwa laki-laki tersebut adalah Gunadi, suami baru Layla.

Dan apa Risya bilang? Bahwa dirinya pantas mati? Konyol.

“Biar gue nggak dikejar-kejar suruh minta maaf mulu.”

“Kata bokap nyokapnya apa?”

“Diterima lah. Pasang muka melas bersalah juga bakal dimaafin.”

“Beneran sinting lo, Dim.”

Dimas mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh dan fokus pada permainannya.

“Ketemu adeknya?”

“Ketemu.”

“Kata adeknya?”

“Marah. Maki-maki gue.” Lalu teringat dengan kehadiran seseorang lain di sana. “Ada Revan juga.”

“Hah?”

“Cewek yang lagi deket sama Revan.” Dimas menolehkan kepalanya pada Galih yang sedang mengancingi kemejanya. “Adeknya Gadis.”

Galih tertawa. “Serius? Wah, anjir! Dunia sempit banget.” Lalu terdiam beberapa saat. “Pantesan waktu lo ngomongin dia di rumah sakit, tampangnya Revan langsung serius nggak suka. Gila gila udah gede tuh anak.”

Dimas tidak menanggapi. Terdiam dengan pikiran mengulik memorinya beberapa hari yang lalu saat melihat raut wajah Revan di rumah Risya tempo hari itu. Revan tentu kesal melihat dirinya di rumah Risya, tapi wajahnya langsung berubah ketika mendengar Risya yang menyuruhnya untuk mati. Seolah ada sedikit raut wajah peduli pada Revan dan Dimas tidak memusingkan hal itu lebih jauh, karena sebenarnya Dimas tidak peduli tentang hal semacam itu.

“Gue penasaran deh pendapat Risya pas tau Revan temen deket lo. Dunianya kayak muter disitu-situ aja. Revan baik sih, tapi nggak tau deh deket sama dia itu keberuntungan atau cobaan.” Cobaan yang dimaksud di sini menyinggung mengenai Dimas yang merupakan teman dekat Revan.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang