Delapan

1.1K 164 33
                                    

“AH ELAH!"

Ini adalah jeritan disusul umpatan kesekian kalinya dari Kinan yang duduk di hadapan Risya sambil menusuk-nusuk batagornya di atas piring.

“Udah napa, Ki. Lo tau nggak sih ada berapa murid yang nengok ke arah kita tiap lo ngomong kasar?” Risya menyeruput es tehnya sampai setengah gelas.

Kinan menaruh dengan kuat garpunya di atas meja. Membuat suara keras yang menarik perhatian sekitar. “Sya, kan—“

“Iya gue tau dia yang ngaduin lo ke Bu Nia. Tapi dia udah minta maaf, kan. Tugas dia udah kelar, sekarang gantian tugas lo untuk maafin dia atau enggak. Akibat lo ngelempar botol minum ke Revan juga bikin jidat dia berdarah. Emang dia harus berdarah kayak gimana lagi supaya lo nggak kesel?” Risya jengah. Serius. Bosan menghabiskan waktu belajarnya di kelas untuk mendengar semua kekesalan Kinan tadi, dan saat istirahat pun apa ia harus mendengarkan umpatan Kinan sementara siomay di hadapannya ini terlihat sangat nikmat?

“Nilai biologi gue, Syaaaa…” Kinan berkata dengan nada lemah dan menaruh kepalanya di atas meja. Lalu tiba-tiba perempuan itu menegakkan posisinya membuat Risya terkejut. “Emang gue ada salah apa sih sama dia? Ngobrol juga jarang. Itu juga—oh!”

Dan Risya menahan diri untuk tidak melempar botol saus di atas meja ke arah Kinan yang terus membuatnya terkejut. Padahal perempuan itu berkata bahwa ia tidak mempermasalahkan nilainya. Tapi lihat sekarang.

“Atau jangan-jangan dia naksir gue? Dia bikin masalah sama gue supaya bisa makin sering ngobrol dan…” Kinan tidak melanjutkan perkataannya. Saat ini perempuan itu tertawa dengan feminimnya seolah membayangkan hal-hal yang Risya yakini menggelikan.

“Sinting emang ya lo.”

Kinan menggebrak meja dengan kedua tangan.

“Kinan! Gue tebas juga pala lo!”

“Tapi tetep aja dia yang ngaduin gue ke Bu Nia!”

“Cuma Biologi kan, kata lo kemarin. Udah kenapa, sih? Tar gue ngomong dah sama bokap gue untuk bujuk Bu Nia.”

Kinan memajukan tubuhnya dengan mata yang berbinar. “Benerrrrrr?”

“Iye.”

“Gitu kek daritadi.” Lalu kembali pada posisi duduknya yang normal. “Sekarang gue bisa makan dengan nikmat.” Dan menusuk satu potongan batagor untuk dimasukan ke mulutnya.

Risya memutar bola mata melihatnya. Sebenarnya ia tidak mau juga harus memohon pada Papanya masalah nilai Kinan. Risya bukan orang yang akan menggunakan kekuasaan seperti itu. Tapi untuk kali ini Risya akan mencoba dan berbicara baik-baik dengan Papanya.

“Oiya, Sya.” Kinan meneguk es teh manisnya sebelum melanjutkan, “gimana kabar Ayah?”

Mendengar pertanyaan Kinan membuat gerakan menyendok Risya melambat. Perempuan ini tersenyum kecil. “Ayah baik-baik aja.”

“Ayah udah nafsu makan?”

Jeda beberapa detik karena Risya membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan Kinan tanpa suara yang bergetar.

“Ayah makan lahap banget kalau ada gue,” jawab Risya pada akhirnya diakhiri dengan tawanya yang terkesan dibuat-buat.

Kinan tidak menimpali lebih lanjut. Memilih diam dengan tatapan yang tidak lepas dari Risya yang sedang melahap siomaynya dengan pelan. Walaupun Risya tidak bilang, tapi Kinan tau bahwa temannya itu tengah mengumpulkan tenaga untuk tidak terlihat sedih.

Kalian pasti tahu bagaimana rasanya berusaha baik-baik saja walau kenyataan mengatakan sebaliknya. Berusaha mengumbar senyum dan wajah cerita supaya tidak menarik simpati orang. Karena sebagian orang tidak benar-benar merasa peduli, mereka hanya kasian. Dan Risya tidak suka dikasihani.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang