Empat belas

1.1K 157 45
                                    

“Makasih, Mbak.” Risya menerima uang kembalian dengan semburat senyum tipis ia berikan. Kakinya melangkah keluar apotek lalu membuka tentengan plastik untuk melihat isinya.

Risya menghembuskan napas kasar. “Kenapa gue jadi batuk deh. Perasaan tadi siang nggak apa-apa.” Kedua tangannya ia masukan ke saku jaketnya ketika angin berhembus. Bau-bau tanah yang disiram hujan masih tercium karena hujan baru selesai sekitar lima belas menit yang lalu. Dan Risya langsung buru-buru ke apotek untuk membeli obat.

Langkahnya tiba-tiba saja terhenti. Wajahnya terkejut seolah baru mengingat sesuatu. “Ini pasti gara-gara makan es krim diem-diem tadi siang.” Risya mendengus. “Lagian enak sih.”

“Apa yang enak?”

Kepalanya menoleh dengan cepat. Bola mata hitamnya langsung bertabrakan dengan bola mata coklat milik seorang laki-laki yang entah sejak kapan berada di belakangnya.

“Lo? Lo…baru pulang?” tanya Risya menyadari bahwa Revan masih menggunakan seragam sekolahnya sedangkan langit sudah gelap.

“Apa yang enak?” tanya Revan lagi. Menyeimbangkan laju motornya dengan langkah kaki Risya dan mesin motor yang sengaja ia matikan. “Udah sembuh?” Revan memutuskan bertanya mengenai hal lain karena Risya tidak menjawab.

“Ya…gitu.” Risya mengangkat kedua bahunya. Tubuhnya bisa dibilang mendingan sih, panasnya juga sudah turun. Tapi malah sekarang ia batuk.

Yang terjadi selanjutnya malah membuat Risya terpaksa kembali menghentikan langkah kakinya karena ia harus menyadarkan dirinya sendiri akibat tindakan tiba-tiba dari Revan yang menempelkan bagian dalam tangannya ke kening Risya, seolah memeriksa suhu tubuh perempuan itu lewat sentuhan tangan.

“Hm, udah nggak anget." Kepala Revan mengangguk pelan dengan ekspresi yang meyakinkan.

Risya berdeham. Mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menetralisir perasaan yang entah apa tiba-tiba saja datang. “Siapa juga yang sakit!”

“Siapa juga yang sakit?” Revan mengulang pernyataan Risya. “Lo nggak inget di sekolah—eh eh, Sya?” Kalimatnya tidak selesai karena Risya tiba-tiba saja naik ke atas motornya.

“Laper, Van.”

“Ya terus?”

“Cari makan, yuk?”

Tanpa mengatakan lebih lanjut dan tanpa protes yang berkepanjangan, Revan menyalakan mesin motornya. Menarik pedal gas motornya dengan senyuman tipis yang terukir di wajahnya.

=/=

“Gue pikir lo bakal ngajak buat makan nasi,” komentar Revan saat mereka duduk di salah satu meja di kursi warung ini. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri untuk memerhatikan sekitar yang cukup padat karena warung ini sesak dengan pengunjung.

“Lo nggak suka mie ayam?” tanya Risya sambil melepas jaketnya. Menaruh benda tersebut pada kursi sebelahnya.

“Suka, kok.” Revan berdeham. Saat ini mereka menunggu pesanannya diantar. “Lo udah makan nasi?”

Jawaban tersebut hanya direspon dengan anggukan oleh Risya. “Mie ayam di sini enak, Van. Dijamin lo nggak bakal nyesel. Karena ini adalah kali perdana lo, gue traktir!”

Revan mendengus sembari tertawa kecil. Pandangannya tidak lepas dari Risya yang saat ini tengah menguncir rambutnya menjadi satu ikatan.

“Tapi kalau lo ketagihan, selanjutnya lo harus traktir gue,” lanjut Risya. Lalu berterimakasih pada seorang pelayan yang mengantarkan makanannya.

Saat pelayan tersebut menaruh gelas minuman Risya tepat di depan perempuan itu, Revan langsung menyentuh bagian luar gelas tersebut.

“Teh angetnya satu ya, Mas. Gulanya jangan banyak-banyak,” kata Revan pada pelayan laki-laki tersebut ketika menyadari gelas minuman Risya ternyata dingin.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang