“Sarapan dulu, Ris.”
Ucapan Layla menyambut Risya yang baru saja sampai di dapur dan membuka kulkas untuk mengambil botol berisi air minum dan meneguknya.
Di meja makan ada Layla dan Gunadi yang tengah menyantap sarapan.
“Risya,” tegur Gunadi ketika menyadari bahwa Risya tidak menanggapi ucapan Layla.
“Nggak laper, Pa.”
“Yaudah minum dulu susu angetnya. Pagi-pagi jangan minum air dingin.”
Risya menutup pintu kulkas. Menghampiri Gunadi untuk kemudian menyalami tangannya. “Aku udah telat, Pa. Berangkat dulu.”
Tubuhnya ragu untuk menentukan gerakan selanjutnya. Risya ragu apakah ia harus menyalami tangan Layla atau tidak. Pasalnya, biasanya saat pagi hari seperti ini Layla tidak ada di meja makan karena masih tertidur akibat pekerjaan yang memaksanya pulang sampai larut malam. Biasanya hanya ada Gunadi yang sarapan sendirian kemudian Risya menemaninya.
Risya memilih untuk berjalan. Tanpa berhenti atau sekedar melirik ke arah di mana Layla duduk.
Hubungannya dengan Layla tidak baik semenjak Gadis meninggal. Risya akui, saat Gadis meninggal, Layla menjadi sangat sedih seolah ia kehilangan alasan untuk hidup karena putri pertamanya meninggal. Tapi itu berlangsung hanya satu hari, hanya hari itu juga dimana Gadis ditemukan gantung diri di kamarnya.
Keesokan harinya Layla kembali beraktivitas seperti biasa seolah kemarin tidak terjadi hal buruk yang mematahkan hati. Layla tidak pernah hadir saat tahlilan Gadis karena harus pulang larut malam. Saat pemakaman Gadis, beliau tidak hadir dengan alasan pekerjaan. Bahkan sampai saat ini Risya yakin Mamanya itu belum pernah mengunjungi makam Gadis.Lalu saat Ayahnya mengidap Alzheimer, Layla tidak pernah mengunjungi Haris di panti atau sekedar menanyakan kabarnya lewat Risya. Tidak. Layla tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Bagaimana bisa Layla menjalani kehidupan sehari-harinya dengan normal dan biasa saja tanpa pernah sedetikpun terbayang mengenai masalah Gadis dan Haris yang merupakan keluarganya sendiri. Apa yang dilakukan Layla seolah mencerminkan bahwa perempuan itu tidak mau ambil pusing dan langsung melupakan apa saja yang pernah terjadi dalam hidupnya. Apabila hal tersebut terjadi hari ini, ya sudah sedihnya hari ini saja. Walaupun kejadian sedih itu sampai membuat hatinya remuk sekalipun. Esoknya harus tetap berjalan normal dan bersikap biasa saja.
Padahal Gadis adalah putri pertamanya dan Haris adalah mantan suaminya yang sudah menemani dirinya selama 20 tahun—bahkan lebih.
Mungkin beberapa orang menganggap apa yang dilakukan Layla sebagai bentuk pengendalian diri supaya tidak merasa semakin terpuruk dengan peristiwa yang terjadi. Mencari kesibukan, tidak mengizinkan diri sendiri termenung dan membiarkan kenangan buruk merasuki pikiran lalu kemudian menangis menyesali. Bila itu memang yang terjadi, Risya bisa wajar karena beberapa orang mungkin melakukan itu. Tapi Layla tidak. Risya tidak pernah melihat Layla bersedih.
“Hei.”
Risya menghentikan langkahnya. Menoleh ke sumber suara dan mendapati Revan dengan motornya berdiri di sampingnya.
Kepalanya menoleh ke segala penjuru arah dan menyadari bahwa saat ini dirinya sudah berada di depan perumahan. Lima langkah darinya adalah sebuah jalan raya besar dan…Risya melamun dari rumah sampai jalan raya.“Ngelamun ya lo.” Revan membuka kaca helmetnya. Memperlihatkan kedua matanya dengan tatapan menyelidik.
“E-enggak!”
“Yaudah buru naik.”
“Apa?”
“Naik.” Revan sedikit menolehkan kepalanya untuk menunjuk arah yang dimaksud dengan dagunya. “Kalau lo naik angkot, bisa-bisa keblablasan nggak turun-turun karena kebanyakan ngelamun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Inersia
Teen FictionAwalnya tidak ada yang salah dengan Risyafa Airen. Seorang murid perempuan tingkat akhir di sekolah menengah atas. Eh, ada yang aneh satu hal. Perempuan ini hobi membolos. Sekolah udah seperti punya Ayahnya aja! Satu kejadian di kelas membuat Revan...