Delapan belas

880 148 28
                                    

Suasana kelas hari ini benar-benar berbeda.

Ralat.

Mungkin yang berbeda hanya atmosfer yang melingkupi keempat laki-laki ini. Juna tidak banyak bicara. Baik Revan, Sandi atau pun Alif tidak ada dari mereka yang mencoba mengajaknya berbicara. Entahlah. Katanya mereka terlalu canggung untuk mengawali suatu obrolan. Alif yang biasanya asal ceplos pun menjadi diam. Biasanya ia melempari sindiran atau ejekan untuk Juna, tapi hari ini tidak.

Mereka benar-benar terasa asing.

“Jun, gue balik bareng lo, ya.” Kata Alif mencoba membuka topik ketika jam pelajaran sudah selesai.

“Gue sama Nanda,” jawab Juna yang sedang membenahi bukunya ke dalam tas tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

“Jadi, rumor itu bener?” Alif bertanya. Sebenarnya kalimat awalnya untuk menebeng adalah basa-basi saja. Supaya mereka berbincang hari ini walaupun sedikit.

“Rumor apa?”

“Lo sama Nanda.”

Kali ini kepala Juna ia tolehkan untuk menjawab pertanyaan Alif. “Gue pikir interaksi gue sama Nanda hari ini udah ngejawab pertanyaan lo pada.”

“Lo kenapa dah, Jun? Nggak biasanya.” Kali ini Sandi yang berkomentar. Ia duduk di atas meja Juna dengan tatapan merunduk menatap Juna.

Sebagian murid sudah keluar untuk menuju rumahnya masing-masing.

“Nggak biasanya lo nggak cerita ke kita-kita.” Alif

“Bilang ke gue kalau lo emang beneran suka sama Nanda.”

Kalimat Sandi membuat Juna mengangkat kepalanya dengan kening yang berkerut. “Maksud lo?”

“Lo nggak macarin dia cuma buat pelampiasan doang, kan? Jangan gitu lah, Jun. Nggak gentle amat jadi cowok.”
Juna tidak menjawab. Mempercepat gerakan memasukan bukunya ke tas dan menyeletingnya rapat-rapat.

“Diem berarti iya.”

“Nggak usah sok tau.”

“Udah berapa lama sih kita temenan? Hal beginian doang juga gue paham, Jun.”

“Lo nggak ngerti apa-apa, San. Nggak usah bacot.”

“Bilang sama gue, cerita lo yang mana yang nggak lo ceritain ke gue sama Alif selama ini? Nggak ada.”

Juna terlihat ingin membuka mulutnya. Namun kalimat Sandi menghentikannya.

“Gue nggak paham masalah lo apa. Gue juga nggak ngerti kenapa lo nggak cerita. Tapi gue kasih tau ya, Jun, kalau emang apa yang gue omongin tadi bener, lo brengsek.”

“San.” Revan yang daritadi diam mencoba mendinginkan suasana dengan atmosfer panas yang mulai melingkupi mereka. 

“Gue berenti,” kata Juna dengan nada suara parau. “Kalau inti pertanyaan lo tentang ini, gue berenti untuk suka sama Risya.”

Good. Karena Risya pantes untuk dapetin yang lebih baik dari lo.”

"San, udah, San.” Alif yang daritadi diam di tempat duduknya, mulai berdiri. Menghampiri Sandi dan sedikit menariknya untuk turun dan melangkah keluar.

“Lo ngomong gini karena lo nggak pernah kan ngerasain gimana jadi gue? Sekarang gue tanya, perjuangan gue yang mana yang pernah diliat sama dia? Usaha gue yang mana yang bikin dia untuk ngebuka hatinya buat gue? San, gue juga pengen bahagia. Gue nggak pengen ngebuang-buang tenaga, perasaan gue buat orang yang nggak pernah nerima itu dengan tulus.”

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang