Tujuh

976 165 26
                                    

“Nih, bang.” Risya memberikan uang kepada abang angkot. “Kembalian.” Lalu memberikan telapak tangannya yang terbuka.

“Kok kembalian, Neng? Ini aja masih kurang,” protes abang angkot.

“Saya biasanya ngasih segitu juga kembalian, kok.”

“BBM naik, Neng. Ongkos angkot juga naik dong.”

“Yaelah. Kalau tarif BBM normal lagi, ongkos angkot juga kagak turun, kan. Kembalian.”

Dengan mulut yang mendumal sebal, dengan terpaksa abang angkot memberikan kembalian yang Risya minta.

Memang benar sih. Tiap ada berita bahwa harga BBM naik per liternya, supir-supir angkot pasti pada melakukan demo dan menaikan harga tarif sebanyak seribu atau duaribu. Tapi jika harga BBM sudah kembali normal, Risya bersumpah tidak ada angkutan yang menurunkan harga tarifnya. Nggak adil.

Dengan sisa waktu 10 menit yang ia punya, Risya berjalan santai menuju sekolahnya. Hari ini ia tidak telat dan malah bangun lebih awal. Ah, ini pasti karena tiga hari kemarin ia menyibukkan diri di satu tempat yang tidak pernah Risya absen untuk ia kunjungi.

Ponselnya yang berada dalam saku seragamnya berdering.

“Halo, Pa? Iya ini Risya nggak bolos lagi. Risya nggak bakal dikeluarin dari sekolah elah, kan ada Papa hehe. Hm, iya iya maaf. Risya udah di sekolah ini. Dah, Pa.”

Yah, kadang menjadi anak dari seorang kepala sekolah ada manfaatnya juga.

Kakinya melangkah melewati koridor sekolah yang mulai ramai. Menapaki anak tangga yang mengantarnya pada lantai dua ruang kelasnya. Risya masih harus melangkah melewati koridor karena ruang kelasnya terletak di sudut bangunan ini. Dari jauh, mata Risya menyipit karena ia melihat banyak anak murid yang tengah berkumpul di depan kelasnya. Seolah sedang mengintip mencari tahu apa yang terjadi.

“Brengsek lo, ya!”

Kakinya melangkah lebih cepat saat menyadari bahwa itu suara Kinan.

“Misi-misi, maap gue mau lewat.” Kinan menerobos kerumunan yang terasa sesak. Setelah sampai di ambang pintu, kejadian di depannya membuat matanya membulat.

“Kinan, udah dong. Revan kan udah ngaku, dia udah minta maaf juga.” Juna berdiri di depan Revan dengan kedua tangan bergestur menenangkan Kinan yang saat ini ditahan oleh para perempuan di kelasnya.

“Tapi nilai gue jadi nol! Puas lo? Hah?!”

Sebuah buku paket tebal berhasil melayang ke arah Juna dan dengan sigap Juna juga Revan menghindar. Buku tersebut berbenturan dengan tembok yang berada di samping Risya.

“Astaga, Sya. Jangan disitu!” Suara Juna berkali-kali lipat lebih panik.

Risya berdecak lidah sebal dan segera menyadari apa yang terjadi. Revan mengakui semuanya pada Kinan mengenai bahwa dirinyalah yang mengadu pada Bu Nia masalah Kinan yang mensontek. Risya benar-benar tidak menyangka bahwa Revan meminta maaf pada Kinan padahal Risya sudah memperingati bagaimana seorang Kinan jika perempuan itu marah.

Risya melangkah. Menghampiri Kinan dan memberikan gestur pada teman-teman perempuannya bahwa ia yang akan menangani Kinan.

“Udah, Kin, ih. Diliatin anak kelas lain, bego,” bisik Risya dan langsung mendapat tatapan sinis dari Kinan.

“Sya, dia yang ngaduin gue ke Bu Nia. Bangsat nggak, sih?!” Telunjuknya menunjuk lurus ke arah Revan yang berlindung di balik punggung Juna.

Risya menurunkan tangan Kinan. “Iya, tapi dia udah minta maaf, kan?”

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang