“Kin, serius lo nggak apa-apa?” tanya Risya yang baru saja keluar dari salah satu bilik kamar mandi.
Kinan yang tengah mencuci wajahnya di wastafel terdiam sejenak. Mengangkat wajahnya lalu menatap bayangannya di cermin. “Selaw. Cuman Biologi ini.”
“Tapi lo nggak dapet nilai, Kin. Nggak boleh masuk 4 pertemuan sama Bu Nia. Lagian juga tadi gue nggak ngerasa dia merhatiin barisan kita dah.” Risya meletakkan baju seragam putih abunya di sebelahnya sebelum ia mencuci kedua tangannya di wastafel.
“Makanya lo jangan bolos mulu! Tar ajarin gue materi Biologi.” Kinan menoyor kepala Risya lalu menarik beberapa tisu dari kotak tisu yang menggantung di sebelahnya.
Risya mendengus. “Lo nggak mau nemuin Bu Nia untuk ngasih dia penjelasan gitu? Lagian yang nyimpen catatan bukan lo doang kali, Kin. Malah ada yang lebih parah dari lo. Si Haris, depan lo itu naro buku biologinya di bawah meja.”
Kinan terkekeh membayangkan. “Lagi apes aja gue, Sya. Udahlah. Lagian juga…" Kinan menyandarkan tubuhnya pada tembok sambil bersidekap dada. “Daripada mohon-mohon sama Bu Nia, gue lebih penasaran siapa yang ngaduin gue ke beliau.”
Risya terdiam. Sebuah nama tiba-tiba terbesit di kepalanya.
“Karena gue pun merasa kalau pengawasan Bu Nia nggak ketat amat. Pasti ada yang ngadu. Nah, masalahnya siapa?”
Jika saat ini Risya mengucapkan satu nama yang mungkin menjadi tersangka, apa itu akan merubah sesuatu?
Kinan berdecak lidah sebal lalu menggelengkan kepalanya cepat. “Bodo ah. Nilai bisa dicari lagi. Nih, baju seragam gue.” Kinan menaruh baju seragamnya di atas baju seragam milik Risya. “Taro di kelas. Gue tunggu di lapangan.”
Semua murid sudah berkumpul di lapangan. Menunggu Pak Andri datang dan mengajari mereka materi olahraga hari ini. Terbukti bahwa saat ini di kelas hanya ada dirinya.
Risya menaruh baju seragam miliknya dan juga Kinan di atas meja. Setelah selesai, perempuan ini membalikkan tubuhnya dan langsung terhenti begitu saja saat melihat Revan yang baru saja masuk ke kelas untuk menaruh seragam miliknya.
Pandangan mereka sempat bertemu sebelum akhirnya Revan memalingkan lebih dulu.
Risya pikir ini saat yang tepat untuk menanyakan laki-laki itu mengenai masalah Kinan, mumpung hanya ada mereka berdua di kelas.
“Lo, kan?”
Pertanyaan Risya menghentikkan langkah kaki Revan yang berada di ambang pintu kelas. Revan menghembuskan napas kasar lalu berbalik. Mendapati perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda menghampirinya dengan tatapan menyelidik.
“Yang ngadu ke Bu Nia,” lanjutnya. “Elo, kan, Revanza Athariz?”
“Gue nggak ngerti yang lo omongin.”
“Gue juga nggak ngerti kenapa lo aduin Kinan ke Bu Nia.”
Merasa tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan, Revan memilih melanjutkan langkahnya.
“Lo harus segitunya supaya jadi orang paling pinter di kelas?”
Dan ucapan Risya berhasil menghentikkan langkah Revan.
Revan menoleh, dengan sebuah senyuman miring terlihat di sudut bibirnya. “Itu imbalan yang setimpal untuk seorang penyontek, Risya.”
“Kenapa nggak lo aduin temen lo, tuh, Alif. Gue liat dia searching pas ulangan tadi. Kenapa? Apa karena dia temen lo jadi nggak lo aduin?”
“Kalau nggak ditegor sekarang, temen lo bakal keterusan karena nggak ada yang nyadarin dia. Mau sampe kapan Kinan kayak gitu mulu tiap ulangan?”
“Ya emang kenapa deh? Dia nyontek juga nggak ke lo kan, nggak nyalin jawaban lo, nggak minta duit ke lo, nggak nyusahin lo. Kenapa lo ikut campur masalah orang?”
“Dan lo bangga jadi temen seorang penyontek?”
“Dan lo ngerasa bangga udah bikin nilai seorang siswi jadi nol? Apa yang lo harepin dari tindakan lo sih, Van? Biar nggak ada yang bisa ngalahin nilai lo? Biar di cap siswa baik nan teladan sama guru-guru? Biar gitu? Hah?”
“Kalau gitu, harusnya dia belajar semaleman. Ngapalin materi supaya nggak susah payah nulis contekan dan dihukum akibat ulahnya sendiri.”
Risya tertawa. “Lo pikir, Kinan bakal ngelakuin itu kalau dia bisa belajar dan ngapalin materi ulangan? Enggak, Van.” Risya mengambil napas dalam-dalam. “Nggak semua orang kayak lo. Nggak semua orang yang baca, langsung paham dan hapal sama materinya. Nggak semua orang ngalamin proses yang sama kayak lo, Van. Lo nggak bisa menghakimi orang gitu aja. Dengan embel-embel negor yang lo maksud, sekarang lo malah keliatan egois.”
“Kalau lo nggak bisa bersikap baik sama seseorang, diem, Van. Jangan bersikap seolah lo adalah yang paling benar. Bumi bukan lo aja.”
Setelah itu Risya berjalan melewati Revan yang membatu mendengar penjelasannya.
“Lama amat. Naro baju sekalian naik haji?” tanya Kinan saat Risya baris di sampingnya lalu mengikuti gerakan pemanasan yang sudah hampir selesai.
“Iya tadi pas lempar zumroh batunya nggak pada masuk. Pada ngegelinding jadi mungutin dulu.”
“Ye, si bahlul.”
Lalu mereka tertawa bersama. Risya mendapati garis tawa lepas dari Kinan seolah perempuan itu tidak ada beban atau tidak terpikirkan sama sekali mengenai masalah tadi. Kinan mungkin berkata bahwa ia tidak apa-apa, tapi tidak ada yang tau perasaan sebenarnya yang seseorang alami. Dan Risya adalah satu orang yang tidak akan diam ketika melihat sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja. Risya tidak akan membiarkan Kinan menyelesaikan masalahnya sendirian.
Karena, seperti itulah seorang sahabat, bukan?
Peluit panjang dari Pak Andri menandakan bahwa mereka harus lari mengelilingi lapangan sebagai pemanasan yang kedua. Tapi Risya tidak langsung bergerak, ia terdiam untuk beberapa saat ketika melihat Revan baru saja sampai di anak tangga terakhir dan berlarian kecil masuk ke barisan untuk lari.
Risya tahu siapa itu seorang Revanza Athariz. Ia adalah siswa pindahan saat kelas sebelas semester dua. Namanya sempat membuat satu sekolahan heboh karena—tentu saja parasnya yang dianggap mempunyai kelebihan oleh para kaum hawa. Revan pendiam, tapi jika berada dalam lingkup pertemanannya laki-laki itu kadang bisa sama cerewetnya seperti Alif. Pemenang olimpiade biologi tentu saja pintar, Revan rajin, dikenal banyak guru, dan sekali lagi, siapa yang tidak mengenal Revan? Tapi Risya masih tidak habis pikir, ternyata Revan adalah seorang yang seperti itu.
“Ayo. Diri mulu lo kayak mau senam,” ucap Kinan menginterupsi.
Risya mengangguk dan menyusul langkahnya dengan Kinan. Sebaiknya ia tidak memberitahu masalah ini pada Kinan, bukan?
***
hayoooo #timRisya atau #timRevan nihhh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Inersia
Teen FictionAwalnya tidak ada yang salah dengan Risyafa Airen. Seorang murid perempuan tingkat akhir di sekolah menengah atas. Eh, ada yang aneh satu hal. Perempuan ini hobi membolos. Sekolah udah seperti punya Ayahnya aja! Satu kejadian di kelas membuat Revan...