Keesokan harinya, suasana di rumah keluarga Alvaro dipenuhi dengan aktivitas. Raditya, yang akan kembali bertugas di kapal perang tempatnya berdinas, sibuk mempersiapkan barang-barangnya. Ia telah menerima perintah untuk berlayar dalam misi patroli selama beberapa bulan ke depan.
Nawalia berdiri di dekat pintu kamar kakaknya, memperhatikan Raditya yang tengah memasukkan perlengkapan militer ke dalam tasnya. Ia terlihat sibuk, tetapi wajahnya tetap tenang seperti biasa.
"Kak, kapan pulangnya?" tanya Nawalia akhirnya, memecah kesunyian. Raditya menoleh dan tersenyum tipis.
"Belum tahu pasti, Dek. Mungkin beberapa bulan, tergantung situasi. Kamu jangan terlalu banyak mikirin kakak, fokus sama seleksi pusatmu."
Nawalia mengangguk kecil, meskipun ada rasa khawatir di hatinya. Kakaknya selalu menjalani tugas dengan penuh dedikasi, tetapi sebagai adik, ia tidak bisa menutupi kecemasannya setiap kali Raditya berlayar.
Saat pagi menjelang siang, seluruh keluarga berkumpul untuk mengantar Raditya ke pelabuhan. Di sana, kapal perang besar dengan lambang TNI AL sudah menunggu, siap berlayar ke perairan luas.
Rian menepuk bahu Raditya dengan penuh kebanggaan.
"Laksanakan tugasmu dengan baik, Nak. Ingat, kehormatan negara ada di tanganmu."
Raditya memberi hormat kepada ayahnya.
"Siap yah"
Aprilia tampak lebih emosional. Ia memeluk putranya erat, seperti selalu, setiap kali Raditya pergi berlayar.
"Hati-hati di sana, Nak. Jangan lupa kabari kami kalau ada waktu."
"Iya, Bu. Jangan khawatir" jawab Raditya sambil tersenyum, mencoba menenangkan ibunya.
Ketika giliran Nawalia, ia berdiri dengan ragu-ragu di depan kakaknya.
"Kak... jaga diri baik-baik, ya," katanya pelan.
Raditya mengusap kepala adiknya dengan lembut.
"Kamu juga, Al. kalau kamu lolos seleksi pusat nanti, kasih kabar pertama ke kakak"
Nawalia hanya mengangguk, merasa sedikit emosional tetapi tidak ingin menunjukkannya. Kakaknya selalu menjadi panutan dan motivasinya untuk terus berjuang, dan setiap perpisahan seperti ini selalu meninggalkan rasa kosong di hatinya.
Setelah berpamitan dengan semua orang, Raditya menaiki kapal bersama rekan-rekan sejawatnya. Mereka berdiri di geladak, melambaikan tangan kepada keluarga yang mengantar.
Nawalia menatap kapal itu bergerak perlahan menjauh dari dermaga. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang khas. Ia menggenggam erat tangannya, berjanji dalam hati bahwa ia akan lolos seleksi pusat dan membuat kakaknya bangga.
Saat kapal akhirnya menghilang di kejauhan, Rian berkata dengan suara tegas namun penuh kehangatan.
"Radit sudah menjalani tugasnya dengan baik. Sekarang giliran kamu, Al. Jangan sia-siakan kesempatanmu."
Nawalia mengangguk yakin.
"Iya, yah. Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin."
Dengan perasaan campur aduk, Nawalia pulang bersama keluarganya. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang membuktikan kepada keluarganya bahwa ia bisa menjadi kebanggaan mereka, seperti kakaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fly To Eternity
Non-Fictioncinta, kehilangan, dan pengorbanan, meskipun hidup penuh dengan ujian dan penderitaan, jiwa seorang pahlawan tetap terbang menuju keabadian.