Malam itu, Rangga duduk di kamar dinasnya sambil membaca surat perintah tugas yang baru ia terima. Misi yang harus ia jalani kali ini tidak seperti biasanya. Tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi, melibatkan operasi khusus di wilayah rawan konflik. Sebagai seorang Letnan Dua di Kopassus, ia terbiasa dengan risiko, tetapi kali ini hatinya terasa lebih berat dari biasanya.
Bukan misi itu yang membuatnya gelisah, melainkan Nawalia. Ada sesuatu yang selalu mengganjal di hatinya setiap kali ia memikirkan gadis itu. Sikap ketus dan dingin Nawalia tidak pernah membuat Rangga mundur. Sebaliknya, perasaan itu justru semakin kuat, dan kini ia merasa waktu yang ia miliki sebelum berangkat terlalu singkat.
Setelah berpikir cukup lama, Rangga memutuskan untuk berbicara langsung dengan Rian, ayah Nawalia. Ia tahu, meminta izin kepada sang Letjen bukan hal mudah, tetapi ia harus melakukannya.
Keesokan harinya, Rangga datang ke rumah keluarga Alvaro dengan seragam rapi. Rian sedang berada di ruang tamu, membaca laporan militer seperti biasanya. Ketika melihat Rangga datang, ia meletakkan laporannya dan menatap Rangga dengan pandangan tegas namun ramah.
"Selamat pagi, Pak," Rangga memberi hormat dengan penuh hormat.
"Pagi, Rangga. Ada apa?" tanya Rian, langsung menangkap suasana hati Rangga yang berbeda.
Rangga menarik napas dalam sebelum menjawab.
"tiga hari lagi saya akan menjalani misi khusus. Sebelum itu, ada satu hal yang ingin saya lakukan. Kalau Bapak mengizinkan, saya ingin mengajak Nawal keluar, untuk sekadar berbicara dan menghabiskan waktu bersama sebelum saya pergi."
Rian terdiam sejenak, menatap Rangga dengan pandangan yang sulit diartikan. Rangga tahu, pria itu bukan hanya seorang jenderal, tetapi juga seorang ayah yang sangat melindungi putrinya.
"Apa tujuanmu, Rangga?" tanya Rian akhirnya, suaranya tegas.
"Pak, saya tidak akan berbohong. Saya memiliki perasaan kepada Nawalia. Namun saya tidak ingin memaksakan apa pun. Saya hanya ingin memberikan sedikit waktu untuk berbicara dengannya, agar saya bisa pergi dengan hati yang tenang. Tidak ada yang lain," jawab Rangga dengan jujur. Rian tersenyum tipis, seolah terkesan dengan kejujuran Rangga.
"Kamu tahu, Nawali itu keras kepala. Dia tidak mudah menerima orang. Tapi saya bisa lihat, kamu serius. Baiklah, Rangga. Saya izinkan. Tapi ingat, jangan terlalu keras mendekatinya. Biarkan dia mengambil keputusan dengan caranya sendiri."
"Baik pak Terima kasih" jawab Rangga dengan rasa lega.
Sore harinya, Rangga datang menjemput Nawalia di rumah. Gadis itu terlihat terkejut melihat Rangga di depan pintu.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Nawalia dengan nada seperti biasa, sedikit ketus.
"Aku mau ngajak kamu keluar sebentar," jawab Rangga santai, mencoba menetralkan suasana.
"Kenapa harus aku? Kamu nggak punya kerjaan lain, ya?" balas Nawalia, meski ada sedikit rasa penasaran di matanya.
"Kamu mau nggak? Kalau nggak, aku pergi aja," kata Rangga sambil pura-pura berbalik.
Nawalia menghela napas panjang.
"Yaudah, tapi sebentar aja. Aku nggak mau lama-lama." Rangga tersenyum.
"Iyaa"
Rangga membawa Nawalia ke sebuah taman kota yang tenang, tempat mereka bisa duduk dan berbicara tanpa gangguan. Di sepanjang perjalanan, Nawalia lebih banyak diam, sementara Rangga sesekali mencoba membuka percakapan ringan.
Ketika mereka duduk di bangku taman, Rangga akhirnya bicara dengan nada serius.
"Tiga hari lagi aku berangkat tugas. dan aku nggak tahu kapan bisa pulang"
Nawalia menatap Rangga, sedikit terkejut.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang?"
"Aku nggak mau bikin kamu mikir yang nggak-nggak. Tapi aku cuma mau bilang satu hal sebelum aku pergi."
Nawalia mengangkat alis, menunggu Rangga melanjutkan.
"Al, aku tahu kamu nggak terlalu suka sama aku. Tapi aku cuma mau kamu tahu satu hal, aku serius sama perasaan aku ke kamu. Aku nggak minta jawaban sekarang, atau kapan pun. Aku cuma mau kamu tahu itu sebelum aku pergi."
Nawalia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Hatinya campur aduk mendengar pengakuan Rangga yang begitu jujur.
"Kamu nggak perlu jawab apa-apa, kok," tambah Rangga dengan senyuman kecil.
"Aku cuma mau kamu tahu. Itu aja."
Nawalia mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
"Yaudah, hati-hati aja nanti di sana. Jangan sampai kenapa-kenapa."
Rangga tersenyum, merasa lega meski jawaban Nawalia tidak seperti yang ia harapkan.
"Terima kasih, Al. Itu saja sudah cukup buat aku."
Setelah beberapa saat, mereka pun pulang. Meskipun percakapan mereka sederhana, Rangga merasa ia telah mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Sementara Nawalia, diam-diam mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Rangga, meski ia belum mau mengakuinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fly To Eternity
Nonfiksicinta, kehilangan, dan pengorbanan, meskipun hidup penuh dengan ujian dan penderitaan, jiwa seorang pahlawan tetap terbang menuju keabadian.