Pagi itu, sebelum misi dimulai, Nawalia duduk di kokpit pesawat F-16-nya. Di samping perangkat kontrol yang rumit, ia mengeluarkan sebuah foto kecil dari sakunya. Foto Rangga, pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Ia menatap foto itu dalam-dalam, seolah-olah mencari kekuatan dari sosok yang kini hanya menjadi kenangan. Dengan hati-hati, ia menempelkan foto itu di dekat panel instrumen pesawatnya.
"Semoga kamu melihatku, Hari ini, aku akan memberikan yang terbaik," gumam Nawalia dengan suara pelan.
Latihan gabungan dimulai. Pesawat Nawalia, bersama beberapa pesawat lainnya, lepas landas dari landasan kapal induk TNI AL. Misi mereka adalah melakukan simulasi manuver tempur di atas wilayah laut, memastikan koordinasi antar-matra berjalan lancar.
Namun, saat Nawalia sedang melaksanakan manuver, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sekelompok burung besar terbang melintasi jalur pesawatnya. Salah satu burung menghantam mesin pesawat, menyebabkan kerusakan serius pada sistem.
Di dalam kokpit, alarm berbunyi keras. Sistem navigasi mulai gagal, dan kontrol pesawat menjadi tidak responsif. Nawalia berusaha keras untuk mengendalikan pesawat, tetapi situasinya semakin memburuk.
Di kapal perang, Raditya yang mengamati jalannya latihan melihat pesawat Nawalia kehilangan kendali. Wajahnya langsung panik dan ia bergerak cepat ke pusat komando.
"Itu pesawat adik saya!" seru Raditya dengan nada panik.
Nawalia tetap berusaha mengendalikan pesawatnya, tetapi gravitasi dan kerusakan sistem tidak memberinya banyak pilihan. Dengan suara tenang, ia melaporkan ke pusat komando.
"Ini Letda Nawalia. Saya mengalami kerusakan mesin akibat bird strike. Pesawat kehilangan daya kontrol. Saya akan mencoba bertahan selama mungkin," lapornya dengan suara tegas.
Namun, tak lama kemudian, pesawat itu mulai kehilangan ketinggian dengan cepat. Dari kapal perang, semua mata tertuju pada pesawat yang perlahan jatuh ke laut.
"Eject, Al! Eject sekarang juga!" suara Raditya terdengar di radio.
Nawalia mencoba menarik tuas kursi pelontar, tetapi sistem eject juga mengalami gangguan. Dengan napas berat, ia memandang foto Rangga yang masih menempel di kokpit.
"Rangga, aku tidak takut," bisiknya sebelum pesawat itu akhirnya menghantam permukaan
Saat pesawatnya menghantam laut, Nawalia memejamkan matanya, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Ia mengingat momen-momen bersama Rangga—senyum hangatnya, tatapan penuh kasih, dan kata-kata yang selalu memberinya kekuatan.
"Rangga, aku ingin bertemu denganmu," bisiknya di dalam hati. Namun, tiba-tiba ia membuka matanya lebar-lebar.
"Tidak, aku harus selamat"
Dengan segala tenaga yang tersisa, Nawalia berusaha membuka sabuk pengamannya dan berenang keluar dari kokpit. Namun, tepat saat ia berhasil keluar, pesawat itu meledak. Ledakan besar mengguncang air di sekitarnya, menghempaskan tubuh Nawalia jauh ke dalam laut.
Suasana di kapal perang berubah menjadi kacau. Tim penyelamat segera dikerahkan untuk mengevakuasi Nawalia. Kapten kapal menginstruksikan semua kru untuk fokus pada pencarian pilot yang jatuh.
Raditya, meskipun dilatih untuk tetap tenang dalam situasi kritis, tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia berdiri di dek, matanya terus mencari tanda-tanda dari lokasi jatuhnya pesawat adiknya.
Azka, yang juga berada di kapal, merasakan hal yang sama. Melihat pesawat Nawalia jatuh membuat hatinya serasa berhenti berdetak. Ia hanya bisa berdoa agar Nawalia selamat.
Tim penyelam segera diterjunkan ke lokasi untuk mencari Nawalia. Mereka menyelam ke dasar laut, melawan arus yang kuat dan puing-puing pesawat yang berserakan di mana-mana.
Di dalam kapal, suasana penuh ketegangan. Semua orang berharap agar Nawalia ditemukan dalam keadaan hidup. Raditya berdiri di dekat layar komando, tangannya terkepal, berdoa dalam diam.
"Adik saya harus selamat," katanya pelan namun penuh keyakinan.
Setelah pencarian selama hampir satu jam, salah satu penyelam akhirnya menemukan tubuh Nawalia. Ia masih mengenakan seragam penerbangnya, terlihat tenang seperti sedang tidur. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Ketika tubuh Nawalia diangkat ke atas kapal penyelamat, seluruh kru kapal terdiam. Azka yang berada di sana tidak bisa menyembunyikan emosinya. Ia berlutut, merasa kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat benar-benar ia kenal.
Di helipad, Raditya berdiri dengan wajah pucat. Ketika tandu yang membawa tubuh adiknya diletakkan di depannya, ia hanya bisa menatap dengan mata yang berkaca-kaca.
"Al..." bisiknya, suara yang hampir tidak terdengar.
Ia berjongkok di samping tubuh Nawalia, menggenggam tangan dinginnya, dan menahan air mata yang akhirnya mengalir tanpa henti.Nawalia dinyatakan gugur.
Hari pemakaman Nawalia tiba. Upacara militer digelar dengan penuh kehormatan. Peti jenazahnya, yang dibalut dengan bendera Merah Putih, diusung oleh para prajurit TNI AU.
Raditya berjalan di belakang peti jenazah adiknya, mengenakan seragam TNI AL, sementara ayah dan ibunya berjalan dengan langkah berat. Semua orang yang hadir bisa merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan keluarga Alvaro.
Azka juga hadir, berdiri di barisan prajurit. Ia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari peti jenazah itu, hatinya dipenuhi penyesalan karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Nawalia.
Ketika bendera yang menutupi peti diserahkan kepada Rian, ayah Nawalia, pria itu menerimanya dengan tangan yang gemetar. Ia memeluk bendera itu erat-erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya cara untuk tetap merasakan keberadaan putrinya.
Setelah pemakaman, Raditya kembali ke kamarnya di rumah keluarga. Ia membuka laci meja dan menemukan sebuah foto lama—foto Nawalia yang tersenyum ceria saat masih remaja. Ia menyentuh foto itu dengan lembut, merasa kehilangan sosok adik yang dulu selalu memberinya semangat.
Di tempat lain, Azka juga memegang foto Nawalia yang ia foto diam-diam setelah pertemuan terakhir mereka. Dalam hati, ia berjanji untuk menjaga kenangan tentang Nawalia, meskipun mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk lebih dekat.
Bagi semua orang yang mengenal Nawalia, kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam. Namun, semangat dan dedikasinya sebagai prajurit akan selalu dikenang.
"Nawalia Adibrata Alvaro, kau adalah pahlawan di hati kami semua."

KAMU SEDANG MEMBACA
Fly To Eternity
Non-Fictioncinta, kehilangan, dan pengorbanan, meskipun hidup penuh dengan ujian dan penderitaan, jiwa seorang pahlawan tetap terbang menuju keabadian.