It's real

1.3K 291 22
                                    

sebenarnya mager banget ngetik tapi hatiku ga tenang kalo ga update

semoga kalian menikmati cerita ini dan selamat membaca....



oOo

Menjelang tiga puluh menit sebelum keberangkatan ke dermaga, semua tas yang berisi perbekalan mulai di susun ke bagasi belakang mobil.

Sementara waktu terus berjalan, tak sekali pun Eunbin berhenti berharap Jinyoung muncul dibelokan di ujung jalan. Hari ini bahkan ia berdoa lebih banyak dari biasanya.

"Sudah habis semua?"

"Ini yang terakhir." Ucap Soobin sambil memasukkan perbekalan terakhir.

Yeonjun berjalan masuk ke rumah untuk memastikan semua barang bawaan sudah dimasukkan ke bagasi. "Benar, sudah semua." Soobin terkekeh diselingi gelengan ringan, matanya melirik Yeonjun yang berdiri tak jauh darinya itu, "Aku lumayan teliti loh untuk mengatakan yang sebenarnya."

"Bukannya aku meragukanmu, memastikan lagi tidak ada salahnya."

Sementara dihalaman Soobin dan Yeonjun mengobrol, diatas atap Yireon terlihat mencoba menghubungi seorang teman dari Shanghai untuk kesekian kalinya. Setelah berhasil menghubungi kemarin, ia mencoba lagi hari ini, namun tidak beruntung.

Helaan nafas terdengar dari Yireon yang akhirnya memilih menyerah untuk mencoba lagi. Selama hampir satu minggu sejak kekacauan malam itu, ia hanya berhasil menghubungi Shanghai sebanyak dua kali. Semakin hari kekuatan daya listrik mulai melemah, koneksi sinyal semakin buruk.
Daya ponselnya hanya tersisa dua puluh persen, dan Yireon sangat membutuhkan listrik untuk mengisi daya batrai sekarang. Karena itu, ia pun turun dari atap lalu ke kamar mencari charger.

"Ya ampun, syukurlah." Gumamnya lega setelah ketika melihat tanda petir yang menandakan daya sedang terisi. Namun, karena daya listrik yang lemah, membutuhkan waktu lebih lama untuk menambah satu persen. Itu bahkan lebih baik dari pada tidak sama sekali.

Karina berjalan masuk ke dalam kamar, tangannya memegang ponsel yang membuka aplikasi sosial media. "Dunia boleh hancur, tapi listrik dan internet tidak. Kalau begini aku bisa mati bosan."

"Kalau kau mati, itu sama dengan mengurangi beban di bumi." Siyeon terkekeh pelan sementara Karina menggeliat-geliat tidak tenang, "Lihatlah? Hanya satu minggu tanpa internet dan kau mulai menggila."

"Beritahu aku..." Kali ini Karina terlihat lebih tenang dari sebelumnya, matanya  fokus menatap Siyeon. "Bagaimana kalian bisa sesantai ini tanpa internet? Apa karena aku sudah terbiasa menghabiskan waktu di sosial media setiap hari?" Dalam sehari Karina bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sosial media, dan sekalipun ia tak pernah pusing memikirkan tentang membeli kuota. "Aku terlahir miskin, itu sebabnya Tuhan menciptakan aku dengan bakat membobol wifi orang lain."

"Kau sangat bangga, huh?" Siyeon terkekeh pelan.

"Ya, setidaknya aku bisa berhemat. Voucher kuota sangat mahal."

"Memangnya semahal itu?"

Karina terdiam karena baru menyadari ia membicarakan keuangannya yang sulit dengan orang kaya di seoul. Yireon tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya hidup sekarat karena tak punya uang.

"Mahal untuk orang sepertiku, tidak berlaku untukmu." Karina menghela nafas berat lalu untuk memutuskan pergi dari kamar menyisakan Yireon dan Siyeon berdua saja.

"Kau yakin sudah membawa semua barang-barangmu ke mobil?"

Siyeon mengangguk kecil. Setelah diam beberapa saat karena memikirkan perasaan Eunbin, dan diamnya ini karena memikirkan banyak hal di sadari oleh Yireon. "Bicaralah." Hanya memerlukan satu kata, Siyeon bergeming.

[1] WALKERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang