Tomorrow will comes

1.5K 290 1
                                    

merevisi fanfic ini tuh seakan membawa aku kembali ke masa lalu

happy readings....





oOo

Yeonjun meletakkan segelas teh hangat di meja tak jauh dari tempat Siyeon. Mereka berhasil kembali ke rumah dengan selamat. Hanya mereka berdua.
Hal itu mengundang beberapa pertanyaan di benak yang lain. Namun, tak ada satupun mau bertanya karena mereka tahu saat ini Siyeon tidak baik-baik saja.

Yireon mengisi tempat kosong di sisi Siyeon. Tersenyum hangat sebelum mengusap lengannya lembut. Gadis itu tersenyum, namun sorot matanya mengisyaratkan kesedihan mendalam.

"Dia meninggal." Pandangan Siyeon tetap lurus meskipun ia dapat merasakan Yireon menatap kearahnya. Semua pasang mata di ruangan ini sedang menatap kearahnya. Cepat atau lambat ia akan memberitahu mereka, ia memilih melukai jantungnya sekali lagi dari pada harus menunda lebih lama.

Hening dan senyap, tak ada satupun yang bersuara. Menurut mereka Siyeon tidak perlu menjelaskan lebih banyak. Yireon memeluknya sebentar, menepuk punggungnya seolah memberitahu bahwa dia tidak sendirian. Tidak akan selagi mereka masih memiliki satu sama lain.

Karina menunduk menatap jari-jari tangannya yang bermain satu sama lain. Bayangan kedua orang tuanya tiba-tiba terlintas. Ia di terlantarkan setelah ayah dan ibunya bercerai. Beberapa kali saat berjalan di kota, Karina melihat ayah atau ibunya telah bahagia bersama keluarga baru mereka. Rasa sakit yang selama ini mereka ciptakan mendorong Karina untuk berhenti peduli.

"Yeonjun, menurutmu bagaimana nasib ayah dan ibuku sekarang?"

"Kenapa kau peduli? Mereka tidak pernah mencarimu." Bukan Yeonjun yang mengatakan itu, tapi Soobin yang bicara dengan nada jengkel. Mereka telah bersahabat lama sekali, tentu saja mereka telah berbagi kesedihan dan penderitaan.

"Bukannya aku peduli..." Karina meninju pelan pergelangan tangan Soobin, "Aku hanya penasaran." Ujarnya sambil pelan, "Memangnya kau tidak penasaran dimana ibumu sekarang?"

"Tidak mungkin." Soobin menggeleng sambil melambai-lambai kecil,
"Dia yang menyuruhku untuk tidak pernah menampakkan diri didepannya lagi, jadi aku memutuskan berhenti peduli." Sungguh, mungkin jika Soobin lima tahun yang lalu mengatakan ini rasanya akan sakit sekali. Tapi ia telah belajar melalui rasa sakit dan kekecewaan. Ia menganggap ibunya telah mati. Dia tidak akan pernah mau mencari tahu tentangnya lagi.

Karina menghela nafas panjang, matanya bergantian menatap kedua sahabatnya. "Ya, kita hanya tiga orang yang hancur." Kepalanya tertunduk karena itulah kenyataannya. "Tapi setidaknya dalam kehancuran itu aku menemukan kalian. Dua orang menyebalkan."

"Kau banyak menangis."

"Itu dulu!" Karina menyela cepat ucapan Yeonjun. "Sekarang aku tidak sering menangis."

"Benarkah?" Yeonjun memasang ekspresi seolah-olah terkejut, "Padahal baru-baru ini kau menangis karena disuruh ganti rugi uang kerusakan properti gedung kampus."

"Tidak tuh!"

"Aku punya rekamannya loh." Soobin menaik-turunkan alis menggoda Karina sambil menggoyangkan ponselnya di udara.

Karina melotot tak percaya saat rekaman mulai diputar. "Jangan!" Pekiknya sambil mencoba mengambil ponsel dari tangan Soobin. Namun gagal karena dia segera menyembunyikan ponselnya ke bawah bantal.

Sementara itu di sisi lain ruangan, pertengkaran antara Karina dan Soobin tak luput dari perhatian Eunbin. Suasana hatinya yang buruk sedikit terhibur oleh tontonan itu.

[1] WALKERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang