Seperti di Pekat, aku akan up 5 part untuk melihat respon pembaca 😊Satu martabak manis dengan lima toping dan sebuah martabak telur bebek spesial sudah tersaji di atas piring-piring kramik yang cantik, sebagai suguhan yang menemani tiga buah cangkir teh untuk tiga orang manusia yang telah mengambil tempat duduk masing-masing di kursi tua rumah ibu Insyira.
"Diminum tehnya, Nak Sabi." Bu Rahmi mempersilakan pada Sabihis yang sedari tadi memperhatikan Insyira yang lebih banyak menunduk. Wanita muda yang kini duduk di samping ibunya dan bersebrangan dengan posisi Sabihis yang duduk di kursi tunggal hanya terpisah meja dengan mereka.
"Iya, Bu. Terima kasih." Sabihis dengan patuh segera mengambil cangkir teh miliknya, lalu menyeruput dengan pelan cairan berwarna merah kecokelatan yang masih mengeluarkan uap panas beraroma harum melati.
"Nggak kemanisan kan tehnya?" tanya bu Rahmi penuh perhatian.
"Nggak, Bu. Pas di lidah saya."
"Insyira emang pinter bikin teh, Pak Eko aja suka banget teh buatan anak ini."
"Pak Eko siapa, Bu?" tanya Sabihis sedikit penasaran.
"Itu lho, orang yang punya salah satu toko kelontong besar deket perempatan. Yang duda itu."
Insyira hampir memutar bola matanya saat mendengar bagaimana ibunya membahas tentang pak Eko, salah satu orang yang dianggap terkaya di kampungnya. Seorang duda beranak dua yang sudah menaruh hati lama pada Insyira.
"Oh, begitu. Memangnya Pak Eko sering bertamu ke sini ya, Bu?" Ada kerutan di kening Insyira saat mendengar pertanyaan Sabihis. Entah lelaki itu hanya berbasa-basi atau memang benar-benar pensaran dengan sosok pak Eko yang diceritakan bu Rahmi. Namun bagi Insyira, pembahasan tentang pak Eko selalu bisa memancing kekesalannya. Insyira tidak suka cara ibunya yang berlebihan saat menceritakan Pak Eko.
"Sering, tiep malem minggu."
"Malem minggu?"
"Iya, Nak. Pak Eko kan naksir si Insyira."
"Naksir?" Insyira sedikit mengangkat alisnya ketika bertemu pandang dengan Sabihis yang kini balas menatapanya. Dan wanita muda itu berusaha meyakinkan diri bahwa raut tidak suka yang sempat terlintas di mimik Sabihis saat mendengar jawaban ibunya hanya ilusi semata.
"Iya, Pak Eko sudah lama suka sama si Insyira. Dia duda yang ditinggal mati istrinya pas ngelahirin anak keduanya. Sekarang anaknya yang bontot udah berumur sepuluh tahun. Lama banget dia sendiri, makanya pas orang kampung tau dia ada naruh hati sama anak Ibu, pada heboh. Pak Eko kan terkenal sebagai duda setia."
Ada dengkusan samar yang dikeluarakan Sabihis saat mendengar penjelasan panjang lebar dari wanita paruh baya tang telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Jadi Pak Eko ke sini tiep malem minggu, buat ngapelin Insyira begitu?"
"Nggak tau deh apa istilahnya jaman sekarang, yang pasti tiep dateng ke sini Pak Eko bawa banyak makan," ucap bu Rahmi kembali. "Teh yang dibuatin Insyira ini aja, Pak Eko yang bawain malem minggu kemaren."
Gerakan Sabihis yang hendak mengarahkan cangkir tehnya ke mulut terhenti, lelaki itu dengan perlahan kembali meletakkan cangkir di atas meja, membuat Insyira yang memperhatikan gerakan lelaki itu, kembali mengerutkan kening.
"Wah Pak Eko loyal juga ya, Bu?" Ada cibiran halus dalam ucapan Sabihis kali ini, dan beruntung bahwa dua orang wanita di depannya sama sekali tak menyadari hal itu.
"Banget, abis gimana, dia kayaknya naksir berat sama si Insyira. Ibu pernah lho belanja ke tokonya sama temen Ibu. Kami beli bahan kue buat demo masak di acara ibu-ibu PKK, tapi pas mau bayar Pak Eko yang kebetulan lagi di sana merintahin sama kasirnya biar Ibu digratisin. Padahal itu bahan-bahan lumayan banyak, soalnya Ibu diserahin buat beliin tiga grup."
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR WEDDING
Romance(SUDAH TERBIT/SUDAH DIHAPUS TGL 11 NOVEMBER) "Kakak udah nggak ada pilihan ya sampe aku banget yang harus jadi istri Kakak ?" --INSYIRA- " Bukan nggak ada pilihan, tapi malas milih. Jadi kamu pasrah aja, nentang juga percuma kan?" --SABIHIS-- Sela...