Our Wedding 21

24.7K 4.1K 227
                                    

Aku nggak mau update. Nggak mau! Itu niat ya, tapi nyatanya... apalah dayaku yg  receh dan gampang dibujuk ini🙀🙀🙀 Ternyata harapan mbak Dewi_Pitaloka terkabul. Aku updateee... makasinya mana? #pamrih🙊🙊🙊

Sabihis mengamati istrinya yang kini memandang lurus ke luar kaca mobil, tampak fokus, tapi jika lebih jeli maka akan diketahui bahwa tatapan Insyira berisi kekosongan semata. Mereka baru pulang dari rumah bu Rahmi, dan seperti biasa, Insyira akan menjadi lebih pendiam dengan raut sendu yang tak berhasil disembunyikan wanita itu.

"Ibu ngomong apa aja tadi, Insyira?" Sabihis memecah keheningan yang telah mengukung mereka dari pertama menaiki kendaraan roda empat milik lelaki itu. Tadi bu Rahmi memang sempat mengajak Insyira bicara empat mata di kamar wanita paruh baya itu, sedangkan Sabihis ditinggalkan bersama Om Rahmat dan Om Wahnyu beserta keluarga yang lain setelah prosesi lamaran resmi yang sangat sederhana itu selesai.

Benar, ini adalah hari dimana om Rahmat-calon ayah tiri Insyira, berkunjung ke rumah bu Rahmi yang dijadikan sebagai tempat untuk menyelenggarakan lamaran resmi. Rumah sederhana itu sedikit sesak mengingat pertemuan dua keluarga yang diadakan di ruang tamu, bahkan saudari-saudari bu Rahmi dan beberapa kerabat om Rahmat yang perempuan, terpaksa duduk di bagian teras rumah.

Entah apa alasannya bu Rami menolak kediaman om Wahyu yang merupakan kakak tertuanya sebagai tempat lamaran, tapi yang jelas itu menimbulkan ketidak nyamanan dari kalangan keluarga ibu Insyira.

"Syira...." Sabihis menegur kembali karena Insyira yang masih tampak melamun.

"Ibu, minta Syira buatin lima puluh loyang bolu buat buah tangan tamu perempuan yang dateng di gawe kampungnya, Kak."

"Dan kamu nggak sanggup?" tanya Sabihis hati-hati. Lima puluh loyang kue itu bukan sesuatu yang sedikit dan tentu saja proses pengerjaanya lama. Apalagi jika Insyira harus mengerjakannya seorang diri, tidak mungkin selesai dalam satu hari. "Kalo nggak sanggup, biar nanti kita pesen di toko kue aja."

"Itu mahal, Kak."

"Nggak papa, ini kan buat Ibu."

"Syira sanggup ngerjainnya sendiri, kok," jawab Insyira buru-buru.

"Terus kenapa wajahnya sedih gitu?" Sabihis sebenrnya ingi  emnanyakan apakah Insyira berat pada maslah biaya yang akan dikeluarkan. Namun, dia berusaha menahan diri. Istrinya masih cukup sensitif jika membahas masalah uang.

"Tadi Tante Widi, yang adek Ibu paling bontot nawarin buat bikinin Ibu sama saudarinya yang lain, biar cepet, tapi Ibu nolak." Insyira kembali merasa tidak nyaman, mengingat kembali cerita ibunya di kamar tadi.

"Nolaknya kenapa?"

"Ibu katanya nggak mau ngerepotin."

"Tapi alasan sebenernya adalah?" tanya Sabihis yang mulai mencium titik terang dari masalah keluarga sang istri.

"Ibu nggak mau ngelibatin saudari-saudrinya gara-gara tersinggung sama omongan Tante Aminah."

"Emang Tante Aminah bilang apa?"

"Iya, kemarin pas mereka lagi bahas pembelian bumbu, Tante Aminah peringetin Ibu, biar lebih hati-hati dan tau diri sama pernikahannya yang sekarang. Ibu udah nggak muda lagi, jangan bersikap terlalu keras kayak pas sama Bapak. Nggak semua lelaki sesabar Bapak."

"Nah, terus bagian mana yang bikin Ibu tersinggung, Syira? Nasihatnya bagus gitu dan emang udah tugas saudara buat saling ngingetin kan?"

"Iya, tapi kan Kak Sabi tau gimana sensitif sama kerasnya Ibu. Ditambah Tante Aminah kan gaya ngomongnya mirip Ibu, tajem dan rada sadis. Apalagi pas Tante Aminah bilang jangan sampe Ibu jadi janda dua kali, murkalah Ibu, Kak," jelas Insyira dengan ekspresi nelangsa.

OUR WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang