Aku gk pernah maksa buat vote dan komen, ya. Jadi pas liat pembaca aktif cerita ini yg rela ninggalin vote mencapai 2 k, rasanya seneng banget. Makasi buat kalian yg udah rajin ngasi aku semangat.
"Ibu, ini kangkungnya abis dicuci terus diapain?"
Pertanyaan dari Bi Atin membuat Insyira yang semenjak tadi sibuk mengupas bawang merah yang akan dijadikan bumbu, menghentikan aktivitasnya. Sebenarnya Insyira agak geli dipanggil 'ibu' oleh wanita yang usianya jauh lebih tua darinya. Namun, bi Atin bersikeras bahwa panggilan itu layak disematkan pada Insyira yan telah menikah dengan majikannya. "Taruh aja dulu, Bi. Saya selesein bumbunya dulu baru nanti ditumis. Bibi bisa bantu bersihin cuminya?"
"Bisa, Bu." Bi Atin lantas mengambil kantung plastik berisi cumi untuk dibersihkan. "Bapak suka banget cumi ya, Bu. Sampe Ibu beli sebanyak ini?"
"Iya, Bi."
"Tapi kok dulu Bapak nggak pernah nyuruh saya masak cumi ya?"
"Nah, saya kurang tau, Bi. Mungkin gara-gara Bapak jarang di rumah dan lebih banyak makan di luar."
"Iya juga kayaknya, Bu. Bapak itu nggak pemilih juga soal makanan. Apa pun dimakan asal bersih."
Ucapan Bi Atin membuat Insyira menarik sudut bibirnya. Sabihisa memang tidak pemilih dalam hal makanan. Lelaki itu nyaris tak pernah menolak makanan apa pun, asal bersih dan halal tentu saja. Dia adalah salah satu tipe manusia yang sangat mengharagai makanan sebagai salah satu rizki dari Tuhan. Bahkan dari cerita ibu Insyira, Sabihis sangat pantang menghina makanan bahkan hanya dengan mengatakan bahwa makanan itu tidak enak.
"Ini cuminya Ibu mau masak bumbu apa?" Bi Atin kembali bertanya. Wanita paruh baya yang telah membantu Sabihis mengurus rumahnya lebih dari lima tahun ini memang sangat komunikatif. Dia selalu mengajak Insyira mengobrol tentang banyak hal, mulai dari tetangga mereka, sejarah rumah Sabihis yang tentu saja Insyira sudah tahu sebelumnya, hingga perbedaan harga beberapa bahan masakan dari beberapa penjual di pasar saat mereka berbelanja.
Pagi ini, selepas Sabihis berangkat bekerja, Insyira memang mengajak bi Atin untuk berbelanja isi dapur ke pasar yang terletak cukup jauh dari kediaman suaminya. Mereka menaiki kendaraan umum karena kebetulan motor Insyira yang masih berada di rumah ibunya. Cukup banyak bahan makanan yang mereka beli dengan tujuan sebagai cadangan untuk beberapa hari kedepan, dan sepanjang perjalanan Insyira cukup terhibur dengan celoteh pembantu rumah tangganya itu.
"Saya tumis sama kangkungnya nanti, Bi," jawab Insyira yang kini sudah mulai mengupas bawang putih.
"Jadi cuminya dipotong-potong gitu ya, Bu?"
"Nggak, Bi, dibiarin utuh. Cuma nanti pake gunting dipotong-potong sedikit bagian atas cuminya, biar bumbunya meresap, Bi."
"Duh, Bibi bingung bayanginnya."
Insyira terkekeh mendengar ucapan Bi Atin. "Nanti Bibi liat aja prosesnya, biar saya yang kerjain."
"Eh, tapi kan harusnya Bibi yang ngerjain, Bu. Nanti Ibu capek, itu tugas Bibi."
"Kita kerjain sama-sama, Bi. Lagian saya mau ngapain kalo nggak masak? Masak sambil ngobrol gini sama Bibi, nyenengin, lho. " Insyira berusaha menjaga perkataannya agar tidak menyinggung bi Atin. Memasak tentu saja bukan hal berat bagi Insyira, bahkan ia bisa mengerjakan semuanya sendiri. Hanya saja ia tidak ingin membuat bi Atin merasa tidak nyaman.
"Duh, cuma Ibu kayaknya yang betah denger saya ngomong. Anak sama mantu saya aja malah bilang saya cerewet, Bu." Bi Atin tertawa, tapi ada kesedihan terselip di sana. "Pernah nih, mereka lagi kumpul di rumah, ngobrol, pas saya ikut nimbrung, eh, mereka malah sibuk sama Hape. Ada yang pura-pura ngantuk terus masuk ke kamar. Saya kalah sama Hape, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR WEDDING
Romance(SUDAH TERBIT/SUDAH DIHAPUS TGL 11 NOVEMBER) "Kakak udah nggak ada pilihan ya sampe aku banget yang harus jadi istri Kakak ?" --INSYIRA- " Bukan nggak ada pilihan, tapi malas milih. Jadi kamu pasrah aja, nentang juga percuma kan?" --SABIHIS-- Sela...