Kalo kalian suka cerita ini, jangan lupa share di medsos kalian ya. Makin banyak yg tau dan mampir ke sini, aku makin semangat update😁
Sabihis baru selesai mandi dan berpakaian saat memilih keluar dari kamar dan menemukan Insyira yang sedang duduk di sofa ruang keluarga dengan tv menyala di depannya. Namun, bukannya melihat Insyira menikmati tontonan di depannya, ia malah sedang sibuk dengan sehuah note book dan pensil. Wanita itu tampak serius meski kini wajahnya sedang menunduk.
"Kenapa belum tidur?" Sabihis mengambil tempat duduk di samping Insyira, tangannya merangkul pundak sang istri hingga membuat wanita itu sedikit terkejut. Lelaki itu pura-pura tak peka dengan ekspresi canggung Insyira. Dia memang sedang mencoba membiasakan sang istri untuk terbiasa dengan intensitas kontak fisik mereka yang tentu akan semakin bertambah setiap waktu.
Ini sudah tujuh hari berlalu, dan seharusnya Insyira sudah bersih hingga mereka bisa menikmati malam pertama yang tertunda. Namun, tak tampak bahwa wanita sudah bisa menunaikan ibadah sholat, bahkan pakaian sholat yang menjadi salah satu mahar saat mereka menikah, masih tersimpan rapi di lemari wanita itu.
Sabihis telah bersabar menghitung waktu yang berlalu setiap harinya, tapi siksaan melihat bagaimana Insyira mondar-mandir di dekatnya dengan kecantikan dan sikap malu-malu yang kadang-kadang membuat lelaki itu menyesal tak menghitung waktu yang tepat untuk menyelenggarakan acara pernikahan, agar tidak terbentur dengan jadwal datang bulan istrinya.
Baiklah, Sabihis kini merasa sedikit jahat. Sungguh dia tak pernah ingin melihat Insyira hanya sebagai tempat pelampiasan kebutuhan biologisnya. Namun, sulit untuk tetap berotak lurus, sementara di rumah dia telah memiliki kekasih halal yang dalam segi hukum apa pun diizinkan untuk dinikmati, sepuasnya.
"Syira ada yang dikerjain sedikit, Kak." Suara lembut Insyira membuat Sabihis yang sejak tadi sedikit melamun memandang wajah istrinya dari samping, tersadar.
"Persiapan acara Ibu?"
"Salah satunya, tapi itu udah selesai. Kan, ada para om yang bantu Syira."
"Terus ngerjain apa? Ini udah mau jam dua belas, lho." Hari ini Sabihis memang terlambat pulang. Dia baru sampai rumah sekitar pukul sebelas malam. Bahkan makanan yang telah dimasakkan sang istri tak bisa dia nikmati karena telah makan malam di luar. Lelaki itu memilih membersihkan diri dan bersiap tidur. Hanya saja tak menemukan Insyira di kamar, membuatnya memilih untuk mencari wanita itu terlebih dahulu.
"Ini lagi ngerekap pesanan orang, Kak."
"Yang di Olshop-mu? Kamu masih jualan?"
Tidak ada yang aneh dari nada suara Sabihis, hanya saja Insyira tiba-tiba terserang rasa tidak enak. Ia takut bahwa suaminya merasa terganggu karena pekerjaan wanita itu saat ini. Mereka memang belum memutuskan segala sesuatu menyangkut pekerjaan Insyira, kecuali tentang pekerjaan Insyira di Koperasi Simpan Pinjam.
Wanita itu telah resmi mundur semenjak ia memutuskan menikah dengan Sabihis. Itu adalah permintaan dari Sabihis dengan alasan bahwa dia ingin istrinya fokus di rumah dan mengurus keluarga. Dan Insyira merasa tidak ada alasan untuk menolak, selain karena pekerjaannya memang akan menyita waktu, Sabihis telah mampu menyelesaikan tanggung jawab berupa hutang-hutang Bu Rahmi yang menyebabkan Insyira bekerja keras saat masih gadis dulu.
"Kak Sabi keberatan kalo Syira jualan?" Insyira bertanya dengan nada ragu-ragu. Ia telah terbiasa hidup mandiri dan menghasilkan uang sendiri. Meski nominalnya tida fantastis, tapi ia bangga dengan apa yang bisa didapatkan dari hasi memeras keringat. Jadi, meski kini sang suami menjamin isi dompet dengan segala fasilitas lengkap, tak membuat Insyira ingin berpangku tangan dan menjalankan hari-hari untuk menghabiskan uang suaminya, seperti yang dilakukan ibunya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR WEDDING
Romance(SUDAH TERBIT/SUDAH DIHAPUS TGL 11 NOVEMBER) "Kakak udah nggak ada pilihan ya sampe aku banget yang harus jadi istri Kakak ?" --INSYIRA- " Bukan nggak ada pilihan, tapi malas milih. Jadi kamu pasrah aja, nentang juga percuma kan?" --SABIHIS-- Sela...