Nawalia ditempatkan di skuadron penerbang yang terkenal karena keahlian dan ketangguhan anggotanya. Skuadron ini dikenal sebagai skuadron yang sering terlibat dalam berbagai misi penting, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Nawalia merasa sangat bersyukur bisa bergabung di tempat ini, tetapi di balik semua itu, ada rasa cemas dan berat di hatinya. Meskipun ia telah banyak berkembang, perasaan tentang masa lalu, terutama Rangga, kadang datang mengganggu.
Di skuadron baru itu, Nawalia bertemu dengan dua orang yang tidak asing baginya: Irgi dan Fajar. Mereka berdua adalah teknisi yang juga baru saja bergabung dengan skuadron yang sama. Irgi dan Fajar bukanlah orang baru bagi Nawalia, meskipun mereka baru bertemu di skuadron ini. Dulu, mereka adalah teman-temannya di akademi penerbang, meski keduanya tidak mengenal Nawalia secara dekat pada saat itu. Namun, sejak saat pertama kali mereka bertemu di pangkalan udara, mereka segera menyadari bahwa Nawalia telah mengalami perubahan yang sangat besar, terutama dalam hal sifat dan sikapnya.
Irgi dan Fajar yang dulu pernah bertemu Nawalia sebagai gadis yang ceria namun penuh keraguan, kini melihat seorang wanita yang jauh lebih matang dan serius. Meskipun ia tetap ahli dan cekatan dalam segala hal yang berkaitan dengan penerbangan, mereka merasakan aura yang berbeda dalam diri Nawalia. Di luar, Nawalia tampak profesional dan sangat fokus pada tugasnya, tetapi bagi Irgi dan Fajar, yang telah mengenalnya sedikit lebih dekat, mereka bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam diri Nawalia—sesuatu yang dulu membuatnya lebih terbuka, lebih hidup.
"Sesuatu telah berubah dalam diri Nawalia, kan?" Fajar berkata pada Irgi saat mereka sedang bertugas di hanggar, memeriksa pesawat.
Irgi mengangguk pelan, lalu menghela napas.
"Iya. Dulu dia lebih... terbuka, lebih bisa diajak bicara. Sekarang, dia... lebih dingin, kayak... menutup diri dari orang-orang sekitar."
"Iya, seperti ada tembok yang dibangun di sekitar dirinya. Dia masih sama hebatnya, tapi ada yang hilang," tambah Fajar, menyandarkan tubuhnya pada dinding hanggar.
Irgi menatap ke arah Nawalia yang sedang memeriksa pesawat di sebelah mereka.
"Aku rasa, ini semua ada hubungannya dengan kejadian beberapa tahun lalu. Tentang Rangga, kan?"
Fajar mengangguk dengan penuh pengertian.
"Aku dengar kabar tentang dia, bagaimana Rangga... meninggal di misi terakhirnya. Aku nggak tahu pasti bagaimana hubungan mereka, tapi sepertinya itu sangat mempengaruhi Al"
Nawalia yang Kuat namun Tertutup
Meskipun Irgi dan Fajar merasa prihatin, mereka juga mengerti bahwa Nawalia tidak ingin terlalu banyak diungkit soal perasaannya. Dia sudah terbiasa bekerja dengan tenang dan profesional, meskipun di dalam hatinya masih ada luka yang belum sembuh. Saat mereka berbicara dengan Nawalia, dia selalu memberikan jawaban yang singkat dan tegas. Ia tak lagi berbicara banyak tentang dirinya, lebih memilih untuk menjaga jarak.
Namun, dalam beberapa kesempatan, saat mereka bekerja bersama di bawah tekanan, Irgi dan Fajar melihat kilasan rasa cemas dan kepedulian di mata Nawalia—sesuatu yang hampir tak pernah ia tunjukkan lagi.
Suatu hari, saat mereka bekerja pada sebuah pesawat yang baru saja kembali dari misi latihan, Fajar berbicara dengan hati-hati.
"Al, kalau ada yang ingin kamu ceritakan... kami di sini kok, sebagai teman-temanmu. Nggak usah terlalu dipendam sendiri."
Nawalia hanya tersenyum tipis, matanya tetap tajam memeriksa mesin pesawat.
"Aku baik-baik saja, Fajar. Fokus pada pekerjaan kita," jawabnya dengan nada yang tenang, meskipun ada kekosongan dalam suaranya.
Irgi dan Fajar saling berpandangan, mengerti bahwa Nawalia masih berjuang dengan perasaannya sendiri. Mereka tak bisa memaksanya untuk terbuka, tapi mereka tahu bahwa mungkin suatu saat Nawalia akan merasa siap untuk berbicara.
Meskipun keduanya khawatir, mereka juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Nawalia adalah seorang perwira penerbang yang sangat terampil. Dia menjalani misi-misi dengan disiplin yang luar biasa, dan setiap kali ia berada di kokpit pesawat, ia benar-benar fokus, tidak ada keraguan atau ketakutan yang muncul.
Skuadron mereka sering kali terlibat dalam latihan dan operasi yang berbahaya, namun Nawalia selalu menghadapinya dengan keberanian dan kecermatan yang tinggi. Ada saat-saat di mana Irgi dan Fajar merasa bangga melihat bagaimana Nawalia bisa menjaga kendali penuh dalam situasi yang penuh tekanan. Meskipun begitu, mereka tahu bahwa di balik sikap tegas dan tangguh itu, Nawalia masih menyimpan banyak perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.
Di akhir setiap harinya, Nawalia duduk sendirian di ruangannya, memandang ke luar jendela dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia tahu bahwa perubahannya adalah bagian dari proses tumbuh dewasa—bahwa kadang, hidup mengharuskan kita untuk melindungi diri dari luka yang terlalu dalam. Namun, jauh di dalam hatinya, Nawalia tahu bahwa meskipun ia menjadi lebih kuat dan lebih dingin, ia tetap merindukan momen-momen yang dulu ia miliki dengan Rangga.
Ia tersenyum tipis, berusaha untuk merelakan semuanya. Rangga telah mengajarkannya banyak hal, dan meskipun perasaan itu sudah terlambat, ia memilih untuk mengingatnya dengan penuh penghargaan. Nawalia kini bukan lagi seorang gadis muda yang cemas dan penuh penyesalan, melainkan seorang wanita yang siap untuk menapaki jalan hidupnya dengan tegas dan penuh keberanian.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, Irgi, Fajar, atau bahkan orang lain yang ada di sekitarnya akan melihat bahwa ada sisi lain dari Nawalia yang lebih lembut, lebih terbuka, meskipun saat itu belum tiba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fly To Eternity
Non-Fictioncinta, kehilangan, dan pengorbanan, meskipun hidup penuh dengan ujian dan penderitaan, jiwa seorang pahlawan tetap terbang menuju keabadian.